Sunday, November 22, 2015

budaya islam kejawen



Islam Kejawen


Pendahuluan
Apa sebenarnya budaya kejawen itu? Apakah ia adalah sebuah agama, budaya, aliran kebatinan, atau yang lainnya? Inilah pertanyaan yang sampai detik ini masih menjadi kontroversi. Dikatakan demikian, sebab jawaban dari pertanyaan tersebut di tengah masyarakat khususnya Jawa, sangat beragam. Beragam pendapat inilah yang kemudian memicu kontroversi mengenai devinisi atau makna sebenarnya dari budaya kejawen. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka makalah ini saya buat sesuai dengan buku yang telah saya baca.
Meskipun ditataran makna terdapat kontroversi, namun ada satu hal yang tidak menimbulkan perdebatan mengenai budaya kejawen, yakni budaya kejawen atau ajaran kejawen sudah ada jauh sebelum Islam datang dan menyebar di Tanah Jawa. Bahkan, ajaran kejawen sudah ada sejak zaman kebuyutan (zaman di mana Pulau Jawa masih dihuni oleh sedikit manusia). Di zaman ini, agama tertua yang pernah ada di bumi pertiwi ini pun (Hindu dan Buddha) masih belum berkembang. Dengan demikian ajaran kejawen sudah ada sebelum masuknya agama Hindu, agama Buddha, agama Kristen dan agama Islam ke Tanah Jawa. Lalu seperti apakah budaya kejawen di zaman kebuyutan itu?
Terdapat sinkretisasi dan akulturasi budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam, sehingga menyebabkan munculnya aliran Islam kejawen. Terlepas dari kontroversi ataukah bid’ah aliran Islam kejawen itu, yang jelas dalam praktik sehari-hari, banyak sekali umat Islam di Jawa yang masih mengikuti tradisi kejawen, seperti slametan, sesajen, laku puasa, dan lain-lain.
Pembahasan
Pengertian Budaya Kejawen
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau barangkali boleh dikatakan agama yang terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Pulau Jawa. Kata kejawen berasal dari bahasa Jawa, yang artinya segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. Penamaan “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz, pernah menulis agama ini dalam bukunya yang ternama, The Religion of Java.
Kejawen dalam opini umum, berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang-orang Jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketet, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam ajaran demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan  Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama dengan ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada perluasan ajaran (misi), namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol – simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, sesajen, dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan. Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik agama Hindu, agama Buddha, agama Islam, maupun agama Kristen. Oleh karena itu, lahirlah yang namanya Islam kejawen.
Menurut Kodiran (1971), kebudayaan spiritual Jawa yang disebut kejawen ini memiliki ciri-ciri umum. Pertama, orang Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan yang Mahakuasa. Mereka bersifat nrima (menerima) takdir sehingga mereka tahan dalam hal menderita. Kedua, orang Jawa percaya pada kekuatan gaib yang ada pada benda-benda seperti keris, kereta istana, dan gamelan. Benda-benda tersebut setiap tahun harus dimandikan (dibersihkan) pada hari jumat kliwon bulan Suro dengan upacara siraman. Ketiga, orang Jawa percaya terhadap roh leluhur dan roh halus yang berada disekitar tempat tinggal mereka. Dalam kepercayaan mereka, roh halus tersebut dapat mendatangkan keselamatan apabila mereka dihormati dengan melakukan selametan dan sesaji pada waktu-waktu tertentu.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya kejawen adalah laku spiritual berdasarkan pandangan hidup atau falsafah hidup Jawa, atau disebut juga jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam laku spiritual Jawa adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaktif, sektarian, dan primordialisme, kiranya belum memahami secara baik nilai-nilai dalam falsafah hidup kejawen. Budaya kejawen merupakan bagian dari ribuan budaya yang ada di dunia. Setiap masyarakat, bangsa, dan budaya biasanya memiliki nilai-nilai tradisi budaya yang di pegang teguh sebagai pedoman hidup. Sebagai contoh, budaya Islam yang dikenal dengan tradisi tasawuf dan orang-orang mendalaminya dikenal dengan orang-orang zuhud dan sufi, budaya Buddha atau yang di kenal Buddisme, budaya Hindu atau yang dikenal Hinduisme, dan masih banyak lagi budaya-budaya di dunia ini.
Budaya lebih fleksibel jika dibandingkan dengan agama, sebab budaya tidak mempersoalkan latar belakang ajaran, agama ataupun adat orang yang ingin menghayatinya. Meski demikian hal tersebut tidak menimbulkan risiko terjadinya benturan nilai-nilai. Sebab dalam tradisi budaya yang sesungguhnya, keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu diambil maknawiyahnya yang bersifat hakikat atau esensial. Orang Jawa, Hindu, Kristen, dan Buddha bisa saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat Islam bisa pula mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan kekuasaan rezim agama akan membuat batasan-batasan tegas para penghayat budaya dengan budaya itu sendiri. Bahkan sering terjadi prejudice (prasangka), pencitraan secara subjektif, dan punishment (hukuman) yang berdasarkan kepentingan rezim. Jangankan terhadap lintas budaya dan agama, di dalam lingkup budaya itu sendiri pun kerap terjadi hal-hal tersebut. Contoh sebagian saja sebagian umat Islam melarang sesama umat Islam lainnya masuk ke dalam wilayah budaya Islam. Pelanggaran tersebut dilakukan dengan dalih agama pula, sehingga sering kali membelenggu dinamika kesadaran umat. Maka, yang terjadi adalah umat yang terkesan “agamis” tetapi sangat miskin pencapaian spiritual.
Lalu, bagaimana budaya kejawen? Budaya kejawen lain dari yang lain. Kaum kejawen memiliki tradisi asli. Tradisi tersebut berupa pemujaan kekuatan adikodrati yang diwujudkan dalam ritual slametan. Itulah sebabnya budaya kejawen adalah gejala religi unik. Keunikan budaya kejawen juga terletak pada pemanfaatan ngelmu titen yang telah berlangsung turun-temurun. Kehidupan sehari-hari, tubuh, dan lingkungan sekitarnya adalah sumber “kitab” budaya kejawen. Bahkan “kitab” mistik kejawen adalah hidup itu sendiri. Adapun “hadist” dan jantung pelaksanaan tradisi kejawen yang menjadi wahana budaya. Melalui slametan, ritual budaya mendapatkan jalan lurus menuju sasaran, yakni Tuhan.


ISLAM KEJAWEN;MEMAHAMI ALKULTURASI BUDAYA JAWA dan ISLAM
Pada dasarnya Islam tidak mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa maupun secara istilah., didalam Al-Qur’an dan Hadist tidak di temukan penjelasan tentang kejawen. Banyak versi mengatakan budaya kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali (Wali Songo) ke Tanah Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran  Islam. Ketika itu, para wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang halus, yaitu memasukan unsur budaya dan tradisi jawa agar mudah di terima serta dipahami masyarakat kala itu. Inilah menurut sebagian kalangan yang menjadi cikal bakal munculnya Islam kejawen.
Jawa dan kejawen seolah tidak dapat dipisahkan atau dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa semasa jaman Hinduisme dan Buddhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran Islam di Jawa juga dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek kejawen sebagai jalur perantara yang baik bagi penyebarannya. Oleh Wali Songo, unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya Jawa, ular-ular (petuah berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi yang dikembangkan khususnya di Kerajaan Mataram. Semua itu merupakan budaya kejawen yang diadaptasi ke dalam Islam.
Dalam pertunjukan wayang kulit,yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat kalimasada(lembaran yang berisi mantra / sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan di muka bumi. Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa si pembawa serat itu akan menjadi sakti mandraguna. Tetapi, sampai menjelang akhir cerita, tidak ada tokoh yang tahu isi serat tersebut. Namun demikian, diakhir cerita rahasia dari serat itu pun dibenarkan oleh sang dalang. Isi Serat Kalimasada berbunyi, “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya”, yang tak lain adalah isi dari kalimat syahadat.
Salah satu contoh cerita wayang yang menarik adalah cerita Sunan Kalijaga dan Raja Puntadewa dari Amarta. Suatu ketika, Sunan Kalijaga berjumpa dengan seseorang yang sangat uzur yang mengaku dirinya bernama Puntadewa. Orang tua itu telah jemu hidup dan mengaku sudah berusia berabad-abad serta tak bisa mati karena tidak seorangpun mau membacakan kalimat Serat kalimasada yang dimilikinya. Ia lalu menanyakan kepada Sunan Kalijaga yang bijaksana, perihal jalan menuju kematian. Sunan Kalijaga kemudian meneliti surat itu dan didapati bahwa isinya tak lain adalah kalimat syahadat, pengakuan iman orang islam. Sunan Kalijaga pun membacakannya untuk Puntadewa, dan Puntadewa akhirnya bisa meninggal dengan damai, terbebas dari ikatan ketidaktahuan.
Nah, dengan reka yang halus tersebut, yaitu kesamaan antara bunyi kata “kalimasada” dan kata Arab “kalimah syahadat”, orang jawa membuat ikatan kesinambungan antara dua masa sejarah yang tampak berbeda, namun bagi mereka pada hakikatnya sama.
Dalam melakukan pertunjukan wayang pun, para wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang di sekelilingnya diberi parit melingkar berair jernih. Adapun guna parit ini tak lain adalah untuk melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk mesjid – simbolisasi dari wujud yang disampaikan secara baik.
Pada perkembangan selanjutnya, para wali juga menyebarkan lagu-lagu bernuansa simbolisasi yang kuat. Salah satu lagu yang terkenal adalah karangan Sunan Kalijaga, yaitu lagu “Ilir-Ilir”. Memang, tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran Islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang sebuah lagu, sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini adalah sebagai berikut:
1.      Tak ijo royo-royo tak senggah penganten anyar. Ini adalah sebuah deskripsi mengenai para pemuda.
2.      Cah angan, cah angan, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo seba mrngko sore. Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai khalifah fil ardh atau pemelihara alam bumi ini (angon bumi). Penekno blimbing kuwi mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu lima waktu. Lunyu-lunyu penekno berarti tidak mudah untuk mengerjakan keduanya (rukun Islam dan shalat lima waktu) dan jalan menuju kesurga memang tidak mudah. Adapun kanggo sebo mengko sore artinya bekal dihari esok (kehidupan setelah mati).
3.      Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Artinya, selagi masih banyak waktu selagi muda danketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah(untuk beribadah
Dalam lagu-lagu Jawa ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, Megatruh, dan Pocung. Semuanya menceritakan perjalanan hidup seorang manusia. Mulai dari Mijil yang berarti keluar atau lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu, lalu Sinom yang diartikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk belajar. Dilanjutkan dengan Maskumambang yang berarti seorang pria dewasa yang telah cukup umur untuk menikah atau Kinanthi yang menikah. Proses berikutnya yaitu pernikahan atau katresnan antarkeduanya (pria dan wanita dewasa) yang disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh (megat artinya bercerai atau terpisah, sedangkan ruh artinya roh atau jiwa seseorang). Megatruh ini merupakan proses sakaratul maut seorang manusia. Bagi umat beragama Islam, tentu dalam prosesi penguburannya, jenazah harus dikafani dengan kain putih, dan mungkin inilah yang disimbolkan dengan pocung (atau pocong).
Semua jenis gendhing ditata apik dengan syair-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada masanya. Selain itu banyaknya filsafat Jawa yang diterjemahkan oleh para wali menunjukannya bahwa Wali Songo dalam mengajarkan agama, selalu dilandasi oleh budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang menganut budaya tinggi akan sulit untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran baru, walaupun ajaran tersebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik.
Membahas keterkaitan antara kejawen dengan ajaran Islam, banyak tokoh yang berpendapat. Menurut Sofia Aunul, salah satu dosen komunikasi Antarbudaya di Universitas Mercu Buana, kejawen sangat berbeda dengan ajaran Islam. Istilah kejawen muncul setelah para wali (Wali Songo) menyebarkan ajaran Islam. Mereka memasukan unsur tradisi dan budaya untuk memudahkan penyebaran agama Islam. Dalam pandangannya, kejawen dan Islam adalah wujud sinkretisasi  yang pada akhirnya menjadi tradisi yang dijalankan oleh orang-orang Jawa hingga saat ini.
Senda dengan Sofia Aunul, Bambang Syuhada, seorang ustadz yang memiliki perhatian khusus terhadap penyimpangan  akidah, mengemukakan bahwa kejawen tidak jelas asalnya. Banyak yang mengatakan bahwa kejawen muncul pertama kali setelah datangnya Sunan Kalijaga ke Tanah Jawa. Kala itu, Sunan menyebarkan agama lewat pementasan wayang dan seni tradisi masyarakat Jawa. Dari situ terdapat penyatuan tradisi budaya Jawa dan Islam, sehingga muncul Istilah kejawen. Namun penjelasan tersebut juga tidak banyak disediakan dalam literatur sejarah. Lagi pula, ritual yang dilakukan masyarakat kejawen dalam aplikasi kehidupannya harus dilihat lebih dalam, karena dikhawatirkan menyimpang dari ajaran agama Islam. Dalam kaidah Islam, jika budaya itu berlangsung dan melanggar sisi tauhid, maka itu menjadi haram. Namun jika budaya itu digunakan hanya sebatas praktik-praktik muamalah, maka itu dibolehkan.
Di dalam budaya Jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Salah satunya adalah Hasta Brata, teori kepemimpinan yang berisi tentang hal-hal yang disimbolisasikan dengan benda atau kondisi alam, antara lain :
1.      Surya (matahari). Matahari memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Hal ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2.      Candra (bulan). Bulan memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Hal ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya, baik ditengah suasana suka maupun duka.
3.      Kartika (bintang). Memancarkan sinar kemilau dan berada di tempat tinggi sehingga dapat dijadikan pedoman arah. Ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan untuk berbuat kebaikan.
4.      Angkasa (langit). Langit itu luas tak terbatas, sehingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Ini melambangkan bahwa seseorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5.      Maruta (angin). Angin selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya.
6.      Samudra (laut/air). Betapapun luasnya, permukaan laut bersifat datar dan bersifat sejuk menyegarkan. Ini mengandung makna bahwa seorang pemimpin hendaknya menyayangi rakyatnya.
7.      Dahana (api). Api mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya. Ini bermakna bahwa seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang bulu.
8.      Bhumi (bumi/tanah). Bumi bersifat kuat dan murah hati. Serta selalu memberi hasil bagi siapa pun yang mau merawat dirinya. Hal ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) kepada rakyatnya serta tidak mengecewakan kepercayaan yang diberikan rakyat kepadanya.

Dalam teori kepemimpinan yang lain, ada beberapa falsafah yang digunakan agar setiap pemimpin memiliki sikap yang tenang dan berwibawa sehingga masyarakatnya dapat hidup tenang dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Salah satu falsafah itu adalah Aja gumunan , aja kagetan, lan aja dumeh. Maksudnya sebagai seorang pemimpin hendaknya janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru (meskipun sebenarnya sangat heran), jangan menunjukan sikap kaget jika ada hal-hal di luar dugaan,  dan jangan sombong (dumeh). Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan emosi bagi semua orang, terutama pemimpin.
Falsafah sebagai anak buah pun ada dalam ajaran kejawen, yang bertujuan agar seorang bawahan dapat kooperatif dengan pimpinan dan tidak mengandalkan egoisme pribadi, terlebih mempermalukan atasan. Dan salah satu falsafah yang banyak digunakan adalah Kena cepet ning aja ndisiki, kena pinter ning aja ngguron, kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepet namun jangan mendahului (sang pimpinan), boleh pintar tetapi jangan menggurui (pimpinan), boleh bertanya namun jangan menyudutkan pimpinan. Intinya, seorang anak buah jangan mempermalukan pimpinan, meskipun ia mungkinn lebih mampu dari sang pemimpin, sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karier seseorang dalam bekerja, tetapi inilah kode etik atau norma yang harus dipahami oleh setiah anak buah demi menjaga citra pimpinan, penyampaian pendapat tidak harus dengan mempermalukan, menggurui, dan merepotkan pimpinan, ada cara-cara di luar itu yang lebih baik.
Sementara itu, dalam kehidupan umum ada sebuah falsafat kejawen yang menjelaskan tentang the right man on the right place (orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya), yaitu Ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana. Artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai busananya (situasinya). Sehingga, tak heran jika seseorang ucapannya baik dan pandai menempatkan dirinya akan di hargai oleh orang lain. Falsafah hidup agar tidak mencampuri dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini, pada dasarnya mengajarkan suatu sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang bisa kita jumpai saat ini.
Kembali pada persoalan Islam kejawen. Sebenarnya keberadaan Islam kejawen hingga saat ini masih menimbulkan kontrofersi. Itu artinya, ada perbedaan pendapat mengenai status aliran Islam kejawen ini. Bagi mereka yang pro(mendukung), tentu aliran ini dianggap sah-sah saja tanpa menyalahi ajaran Islam. Namun, bagi mereka yang kontra (menolak), maka aliran ini dianggap sesat dan menyesatkan.
Dalam aliran Islam kejawen sendiri dikenal bermacam-macam ilmu supranatural. Sedikitnya, ada enam ilmu supranatural dalam aliran Islam kejawen, yaitu ilmu kanuragan, ilmu kewibawaan, ilmu trawangan, ilmu khodam, ilmu permainan, dan ilmu kesehatan.
Kesimpulan
budaya kejawen adalah laku spiritual berdasarkan pandangan hidup atau falsafah hidup Jawa, atau disebut juga jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam laku spiritual Jawa adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaktif, sektarian, dan primordialisme, kiranya belum memahami secara baik nilai-nilai dalam falsafah hidup kejawen. Budaya kejawen merupakan bagian dari ribuan budaya yang ada di dunia. Setiap masyarakat, bangsa, dan budaya biasanya memiliki nilai-nilai tradisi budaya yang di pegang teguh sebagai pedoman hidup. Sebagai contoh, budaya Islam yang dikenal dengan tradisi tasawuf dan orang-orang mendalaminya dikenal dengan orang-orang zuhud dan sufi, budaya Buddha atau yang di kenal Buddisme, budaya Hindu atau yang dikenal Hinduisme, dan masih banyak lagi budaya-budaya di dunia ini.
Daftar Pustaka
1.      Mistik Kejawen Menguak Rahasia Hidup Orang Jawa, Petir Abimanyu:PALAPA
2.      Tuhan dalam Budaya Jawa, Ign.Gatut Sakson:KALIWANGI
3.      Sejarah Umat Islam, Singapura:Pustaka Nasional Ltd


No comments:

Post a Comment