Islam Kejawen
Pendahuluan
Apa sebenarnya budaya kejawen itu? Apakah ia adalah sebuah
agama, budaya, aliran kebatinan, atau yang lainnya? Inilah pertanyaan yang
sampai detik ini masih menjadi kontroversi. Dikatakan demikian, sebab jawaban
dari pertanyaan tersebut di tengah masyarakat khususnya Jawa, sangat beragam.
Beragam pendapat inilah yang kemudian memicu kontroversi mengenai devinisi atau
makna sebenarnya dari budaya kejawen. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka
makalah ini saya buat sesuai dengan buku yang telah saya baca.
Meskipun ditataran makna terdapat kontroversi, namun ada
satu hal yang tidak menimbulkan perdebatan mengenai budaya kejawen, yakni
budaya kejawen atau ajaran kejawen sudah ada jauh sebelum Islam datang dan
menyebar di Tanah Jawa. Bahkan, ajaran kejawen sudah ada sejak zaman kebuyutan
(zaman di mana Pulau Jawa masih dihuni oleh sedikit manusia). Di zaman ini,
agama tertua yang pernah ada di bumi pertiwi ini pun (Hindu dan Buddha) masih
belum berkembang. Dengan demikian ajaran kejawen sudah ada sebelum masuknya
agama Hindu, agama Buddha, agama Kristen dan agama Islam ke Tanah Jawa. Lalu
seperti apakah budaya kejawen di zaman kebuyutan itu?
Terdapat sinkretisasi dan akulturasi budaya Jawa dengan
nilai-nilai Islam, sehingga menyebabkan munculnya aliran Islam kejawen.
Terlepas dari kontroversi ataukah bid’ah aliran Islam kejawen itu, yang jelas
dalam praktik sehari-hari, banyak sekali umat Islam di Jawa yang masih
mengikuti tradisi kejawen, seperti slametan, sesajen, laku puasa, dan
lain-lain.
Pembahasan
Pengertian Budaya Kejawen
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau barangkali boleh
dikatakan agama yang terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa
lainnya yang menetap di Pulau Jawa. Kata kejawen berasal dari bahasa Jawa, yang
artinya segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. Penamaan
“kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan
bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal
Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz, pernah
menulis agama ini dalam bukunya yang ternama, The Religion of Java.
Kejawen dalam opini umum, berisikan tentang seni, budaya,
tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang-orang Jawa. Penganut ajaran
kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian
seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya
sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah
laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran
kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketet, dan menekankan pada
konsep “keseimbangan”. Dalam ajaran demikian, kejawen memiliki kemiripan
dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama dengan
ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada perluasan ajaran (misi), namun pembinaan
dilakukan secara rutin.
Simbol – simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang
diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan
mantra, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, sesajen,
dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak orang (termasuk penghayat kejawen
sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan
perdukunan. Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat
mengadopsi ajaran agama pendatang, baik agama Hindu, agama Buddha, agama Islam,
maupun agama Kristen. Oleh karena itu, lahirlah yang namanya Islam kejawen.
Menurut Kodiran (1971), kebudayaan spiritual Jawa yang
disebut kejawen ini memiliki ciri-ciri umum. Pertama, orang Jawa percaya bahwa
hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan yang Mahakuasa. Mereka bersifat nrima (menerima) takdir sehingga mereka
tahan dalam hal menderita. Kedua, orang Jawa percaya pada kekuatan gaib yang
ada pada benda-benda seperti keris, kereta istana, dan gamelan. Benda-benda
tersebut setiap tahun harus dimandikan (dibersihkan) pada hari jumat kliwon
bulan Suro dengan upacara siraman. Ketiga, orang Jawa percaya terhadap roh
leluhur dan roh halus yang berada disekitar tempat tinggal mereka. Dalam
kepercayaan mereka, roh halus tersebut dapat mendatangkan keselamatan apabila
mereka dihormati dengan melakukan selametan dan sesaji pada waktu-waktu
tertentu.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya
kejawen adalah laku spiritual berdasarkan pandangan hidup atau falsafah hidup
Jawa, atau disebut juga jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam laku
spiritual Jawa adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata.
Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah hidup Jawa namun
perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaktif, sektarian,
dan primordialisme, kiranya belum memahami secara baik nilai-nilai dalam
falsafah hidup kejawen. Budaya kejawen merupakan bagian dari ribuan budaya yang
ada di dunia. Setiap masyarakat, bangsa, dan budaya biasanya memiliki
nilai-nilai tradisi budaya yang di pegang teguh sebagai pedoman hidup. Sebagai
contoh, budaya Islam yang dikenal dengan tradisi tasawuf dan orang-orang
mendalaminya dikenal dengan orang-orang zuhud dan sufi, budaya Buddha atau yang
di kenal Buddisme, budaya Hindu atau yang dikenal Hinduisme, dan masih banyak
lagi budaya-budaya di dunia ini.
Budaya lebih fleksibel jika dibandingkan dengan agama, sebab
budaya tidak mempersoalkan latar belakang ajaran, agama ataupun adat orang yang
ingin menghayatinya. Meski demikian hal tersebut tidak menimbulkan risiko
terjadinya benturan nilai-nilai. Sebab dalam tradisi budaya yang sesungguhnya,
keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu diambil maknawiyahnya yang bersifat
hakikat atau esensial. Orang Jawa, Hindu, Kristen, dan Buddha bisa saja
mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat Islam bisa pula
mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan kekuasaan rezim
agama akan membuat batasan-batasan tegas para penghayat budaya dengan budaya
itu sendiri. Bahkan sering terjadi prejudice (prasangka), pencitraan secara
subjektif, dan punishment (hukuman) yang berdasarkan kepentingan rezim.
Jangankan terhadap lintas budaya dan agama, di dalam lingkup budaya itu sendiri
pun kerap terjadi hal-hal tersebut. Contoh sebagian saja sebagian umat Islam
melarang sesama umat Islam lainnya masuk ke dalam wilayah budaya Islam.
Pelanggaran tersebut dilakukan dengan dalih agama pula, sehingga sering kali
membelenggu dinamika kesadaran umat. Maka, yang terjadi adalah umat yang
terkesan “agamis” tetapi sangat miskin pencapaian spiritual.
Lalu, bagaimana budaya kejawen? Budaya kejawen lain dari
yang lain. Kaum kejawen memiliki tradisi asli. Tradisi tersebut berupa pemujaan
kekuatan adikodrati yang diwujudkan dalam ritual slametan. Itulah sebabnya
budaya kejawen adalah gejala religi unik. Keunikan budaya kejawen juga terletak
pada pemanfaatan ngelmu titen yang
telah berlangsung turun-temurun. Kehidupan sehari-hari, tubuh, dan lingkungan
sekitarnya adalah sumber “kitab” budaya kejawen. Bahkan “kitab” mistik kejawen
adalah hidup itu sendiri. Adapun “hadist” dan jantung pelaksanaan tradisi
kejawen yang menjadi wahana budaya. Melalui slametan, ritual budaya mendapatkan
jalan lurus menuju sasaran, yakni Tuhan.
ISLAM KEJAWEN;MEMAHAMI ALKULTURASI BUDAYA JAWA dan
ISLAM
Pada dasarnya Islam tidak
mengenal istilah atau ajaran kejawen. Secara bahasa maupun secara istilah.,
didalam Al-Qur’an dan Hadist tidak di temukan penjelasan tentang kejawen.
Banyak versi mengatakan
budaya kejawen muncul seiring dengan datangnya para wali (Wali Songo) ke Tanah
Jawa dalam rangka menyebarkan ajaran
Islam. Ketika itu, para wali melakukan penyebaran agama dengan cara yang
halus, yaitu memasukan unsur budaya dan tradisi jawa agar mudah di terima serta
dipahami masyarakat kala itu. Inilah menurut sebagian kalangan yang menjadi
cikal bakal munculnya Islam kejawen.
Jawa dan kejawen seolah tidak dapat
dipisahkan atau dengan lainnya. Kejawen bisa jadi merupakan suatu sampul atau
kulit luar dari beberapa ajaran yang berkembang di Tanah Jawa semasa jaman
Hinduisme dan Buddhisme. Dalam perkembangannya, penyebaran Islam di Jawa juga
dibungkus oleh ajaran-ajaran terdahulu, bahkan terkadang melibatkan aspek
kejawen sebagai jalur perantara yang baik bagi penyebarannya. Oleh Wali Songo,
unsur-unsur dalam Islam berusaha ditanamkan dalam budaya-budaya Jawa, ular-ular
(petuah berupa filsafat), cerita-cerita kuno, hingga upacara-upacara tradisi
yang dikembangkan khususnya di Kerajaan Mataram. Semua itu merupakan budaya kejawen yang diadaptasi ke
dalam Islam.
Dalam pertunjukan wayang kulit,yang
paling dikenal adalah cerita tentang Serat
kalimasada(lembaran yang berisi mantra / sesuatu yang sakral) yang cukup
ampuh dalam melawan segala keangkaramurkaan di muka bumi. Dalam cerita tersebut
dikisahkan bahwa si pembawa serat itu akan menjadi sakti mandraguna. Tetapi,
sampai menjelang akhir cerita, tidak ada tokoh yang tahu isi serat tersebut.
Namun demikian, diakhir cerita rahasia dari serat itu pun dibenarkan oleh sang
dalang. Isi Serat Kalimasada berbunyi,
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah
utusan-Nya”, yang tak lain adalah isi dari kalimat syahadat.
Salah satu contoh cerita wayang yang
menarik adalah cerita Sunan Kalijaga dan Raja Puntadewa dari Amarta. Suatu
ketika, Sunan Kalijaga berjumpa dengan seseorang yang sangat uzur yang mengaku
dirinya bernama Puntadewa. Orang tua itu telah jemu hidup dan mengaku sudah
berusia berabad-abad serta tak bisa mati karena tidak seorangpun mau membacakan
kalimat Serat kalimasada yang
dimilikinya. Ia lalu menanyakan kepada Sunan Kalijaga yang bijaksana, perihal
jalan menuju kematian. Sunan Kalijaga kemudian meneliti surat itu dan didapati
bahwa isinya tak lain adalah kalimat syahadat, pengakuan iman orang islam.
Sunan Kalijaga pun membacakannya untuk Puntadewa, dan Puntadewa akhirnya bisa
meninggal dengan damai, terbebas dari ikatan ketidaktahuan.
Nah, dengan reka yang halus tersebut,
yaitu kesamaan antara bunyi kata “kalimasada” dan kata Arab “kalimah syahadat”,
orang jawa membuat ikatan kesinambungan antara dua masa sejarah yang tampak
berbeda, namun bagi mereka pada hakikatnya sama.
Dalam melakukan pertunjukan wayang pun,
para wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang di sekelilingnya diberi
parit melingkar berair jernih. Adapun guna parit ini tak lain adalah untuk
melatih para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk
mesjid – simbolisasi dari wujud yang disampaikan secara baik.
Pada perkembangan selanjutnya, para
wali juga menyebarkan lagu-lagu bernuansa simbolisasi yang kuat. Salah satu
lagu yang terkenal adalah karangan Sunan Kalijaga, yaitu lagu “Ilir-Ilir”.
Memang, tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran Islam, mengingat
diperlukannya suatu keindahan dalam mengarang sebuah lagu, sebagian arti yang
kini banyak digali dari lagu ini adalah sebagai berikut:
1.
Tak ijo royo-royo tak senggah penganten
anyar. Ini adalah sebuah deskripsi mengenai para pemuda.
2.
Cah angan, cah angan, penekna blimbing
kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo seba mrngko sore. Cah angon adalah
simbolisasi dari manusia sebagai khalifah fil ardh atau pemelihara alam bumi
ini (angon bumi). Penekno blimbing kuwi
mengibaratkan buah belimbing yang memiliki lima segi membentuk bintang. Kelima
segi itu lima waktu. Lunyu-lunyu penekno
berarti tidak mudah untuk mengerjakan keduanya (rukun Islam dan shalat lima
waktu) dan jalan menuju kesurga memang tidak mudah. Adapun kanggo sebo mengko sore artinya bekal dihari esok (kehidupan
setelah mati).
3.
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar
kalangane. Artinya, selagi masih banyak waktu selagi muda danketika tenaga
masih kuat, maka lakukanlah(untuk beribadah
Dalam lagu-lagu Jawa ada gendhing
bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, Kinanthi, Asmaradhana, Megatruh, dan
Pocung. Semuanya menceritakan perjalanan hidup seorang manusia. Mulai dari
Mijil yang berarti keluar atau lahirnya seorang jabang bayi dari rahim ibu,
lalu Sinom yang diartikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat untuk
belajar. Dilanjutkan dengan Maskumambang yang berarti seorang pria dewasa yang
telah cukup umur untuk menikah atau Kinanthi yang menikah. Proses berikutnya
yaitu pernikahan atau katresnan antarkeduanya (pria dan wanita dewasa) yang
disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh (megat artinya
bercerai atau terpisah, sedangkan ruh artinya roh atau jiwa seseorang).
Megatruh ini merupakan proses sakaratul
maut seorang manusia. Bagi umat beragama Islam, tentu dalam prosesi
penguburannya, jenazah harus dikafani dengan kain putih, dan mungkin inilah
yang disimbolkan dengan pocung (atau
pocong).
Semua jenis gendhing ditata apik dengan
syair-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu pas untuk didendangkan pada
masanya. Selain itu banyaknya filsafat Jawa yang diterjemahkan oleh para wali
menunjukannya bahwa Wali Songo dalam mengajarkan agama, selalu dilandasi oleh
budaya yang kental. Hal ini sangat dimungkinkan, karena masyarakat Jawa yang
menganut budaya tinggi akan sulit untuk meninggalkan budaya lamanya ke ajaran
baru, walaupun ajaran tersebut sebenarnya mengajarkan sesuatu yang lebih baik.
Membahas keterkaitan antara kejawen
dengan ajaran Islam, banyak tokoh yang berpendapat. Menurut Sofia Aunul, salah
satu dosen komunikasi Antarbudaya di Universitas Mercu Buana, kejawen sangat
berbeda dengan ajaran Islam. Istilah kejawen muncul setelah para wali (Wali
Songo) menyebarkan ajaran Islam. Mereka memasukan unsur tradisi dan budaya
untuk memudahkan penyebaran agama Islam. Dalam pandangannya, kejawen dan Islam
adalah wujud sinkretisasi yang pada
akhirnya menjadi tradisi yang dijalankan oleh orang-orang Jawa hingga saat ini.
Senda dengan Sofia Aunul, Bambang
Syuhada, seorang ustadz yang memiliki perhatian khusus terhadap
penyimpangan akidah, mengemukakan bahwa
kejawen tidak jelas asalnya. Banyak yang mengatakan bahwa kejawen muncul
pertama kali setelah datangnya Sunan Kalijaga ke Tanah Jawa. Kala itu, Sunan
menyebarkan agama lewat pementasan wayang dan seni tradisi masyarakat Jawa.
Dari situ terdapat penyatuan tradisi budaya Jawa dan Islam, sehingga muncul
Istilah kejawen. Namun penjelasan tersebut juga tidak banyak disediakan dalam
literatur sejarah. Lagi pula, ritual yang dilakukan masyarakat kejawen dalam
aplikasi kehidupannya harus dilihat lebih dalam, karena dikhawatirkan
menyimpang dari ajaran agama Islam. Dalam kaidah Islam, jika budaya itu
berlangsung dan melanggar sisi tauhid, maka itu menjadi haram. Namun jika
budaya itu digunakan hanya sebatas praktik-praktik muamalah, maka itu dibolehkan.
Di dalam budaya Jawa sebenarnya sangat
sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Salah satunya adalah Hasta Brata,
teori kepemimpinan yang berisi tentang hal-hal yang disimbolisasikan dengan
benda atau kondisi alam, antara lain :
1.
Surya (matahari). Matahari
memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Hal ini melambangkan bahwa
seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk
membangun bangsa dan negaranya.
2.
Candra (bulan). Bulan memancarkan
sinar ditengah kegelapan malam. Hal ini melambangkan bahwa seorang pemimpin
hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya, baik ditengah suasana suka
maupun duka.
3.
Kartika (bintang). Memancarkan sinar
kemilau dan berada di tempat tinggi sehingga dapat dijadikan pedoman arah. Ini
melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan untuk berbuat
kebaikan.
4.
Angkasa (langit). Langit itu luas tak
terbatas, sehingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Ini
melambangkan bahwa seseorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan
kemampuan mengendalikan diri dalam menampung pendapat rakyatnya yang
bermacam-macam.
5.
Maruta (angin). Angin selalu ada
dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang
kosong. Ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan
rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya.
6.
Samudra (laut/air). Betapapun luasnya, permukaan laut bersifat datar dan
bersifat sejuk menyegarkan. Ini mengandung makna bahwa seorang pemimpin
hendaknya menyayangi rakyatnya.
7.
Dahana (api). Api mempunyai kemampuan
membakar semua yang bersentuhan dengannya. Ini bermakna bahwa seorang pemimpin
hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa pandang
bulu.
8.
Bhumi (bumi/tanah). Bumi bersifat
kuat dan murah hati. Serta selalu memberi hasil bagi siapa pun yang mau merawat
dirinya. Hal ini melambangkan bahwa seorang pemimpin hendaknya bermurah hati
(melayani) kepada rakyatnya serta tidak mengecewakan kepercayaan yang diberikan
rakyat kepadanya.
Dalam teori kepemimpinan yang lain, ada
beberapa falsafah yang digunakan agar setiap pemimpin memiliki sikap yang
tenang dan berwibawa sehingga masyarakatnya dapat hidup tenang dalam
menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Salah satu falsafah itu adalah Aja gumunan , aja kagetan, lan aja dumeh. Maksudnya sebagai seorang pemimpin
hendaknya janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu yang baru
(meskipun sebenarnya sangat heran), jangan menunjukan sikap kaget jika ada
hal-hal di luar dugaan, dan jangan
sombong (dumeh). Intinya falsafah ini mengajarkan tentang menjaga sikap dan
emosi bagi semua orang, terutama pemimpin.
Falsafah sebagai anak buah pun ada
dalam ajaran kejawen, yang bertujuan agar seorang bawahan dapat kooperatif
dengan pimpinan dan tidak mengandalkan egoisme pribadi, terlebih mempermalukan
atasan. Dan salah satu falsafah yang banyak digunakan adalah Kena cepet ning aja ndisiki, kena pinter
ning aja ngguron, kena takon ning aja ngrusuhi. Maksudnya, boleh cepet
namun jangan mendahului (sang pimpinan), boleh pintar tetapi jangan menggurui
(pimpinan), boleh bertanya namun jangan menyudutkan pimpinan. Intinya, seorang
anak buah jangan mempermalukan pimpinan, meskipun ia mungkinn lebih mampu dari
sang pemimpin, sama sekali falsafah ini tidak untuk menghambat karier seseorang
dalam bekerja, tetapi inilah kode etik atau norma yang harus dipahami oleh
setiah anak buah demi menjaga citra pimpinan, penyampaian pendapat tidak harus
dengan mempermalukan, menggurui, dan merepotkan pimpinan, ada cara-cara di luar
itu yang lebih baik.
Sementara itu, dalam kehidupan umum ada
sebuah falsafat kejawen yang menjelaskan tentang the right man on the right
place (orang yang baik adalah orang yang mengerti tempatnya), yaitu Ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga
saka busana. Artinya, harga diri seseorang tergantung dari ucapannya dan
sebaiknya seseorang dapat menempatkan diri sesuai busananya (situasinya).
Sehingga, tak heran jika seseorang ucapannya baik dan pandai menempatkan
dirinya akan di hargai oleh orang lain. Falsafah hidup agar tidak mencampuri
dan memasuki dunia yang bukan dunianya ini, pada dasarnya mengajarkan suatu
sikap yang dinamakan profesionalisme, yang mungkin agak jarang bisa kita jumpai
saat ini.
Kembali pada persoalan Islam kejawen.
Sebenarnya keberadaan Islam kejawen hingga saat ini masih menimbulkan
kontrofersi. Itu artinya, ada perbedaan pendapat mengenai status aliran Islam
kejawen ini. Bagi mereka yang pro(mendukung), tentu aliran ini dianggap sah-sah
saja tanpa menyalahi ajaran Islam. Namun, bagi mereka yang kontra (menolak),
maka aliran ini dianggap sesat dan menyesatkan.
Dalam aliran Islam kejawen sendiri
dikenal bermacam-macam ilmu supranatural. Sedikitnya, ada enam ilmu
supranatural dalam aliran Islam kejawen, yaitu ilmu kanuragan, ilmu kewibawaan,
ilmu trawangan, ilmu khodam, ilmu permainan, dan ilmu kesehatan.
Kesimpulan
budaya kejawen adalah laku spiritual berdasarkan pandangan
hidup atau falsafah hidup Jawa, atau disebut juga jawaisme (javanism). Yang
paling utama dalam laku spiritual Jawa adalah perilaku didasari oleh cinta
kasih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati
falsafah hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara
murka, reaktif, sektarian, dan primordialisme, kiranya belum memahami secara
baik nilai-nilai dalam falsafah hidup kejawen. Budaya kejawen merupakan bagian
dari ribuan budaya yang ada di dunia. Setiap masyarakat, bangsa, dan budaya
biasanya memiliki nilai-nilai tradisi budaya yang di pegang teguh sebagai
pedoman hidup. Sebagai contoh, budaya Islam yang dikenal dengan tradisi tasawuf
dan orang-orang mendalaminya dikenal dengan orang-orang zuhud dan sufi, budaya
Buddha atau yang di kenal Buddisme, budaya Hindu atau yang dikenal Hinduisme,
dan masih banyak lagi budaya-budaya di dunia ini.
Daftar Pustaka
1. Mistik Kejawen Menguak Rahasia Hidup
Orang Jawa, Petir Abimanyu:PALAPA
2. Tuhan dalam Budaya Jawa, Ign.Gatut
Sakson:KALIWANGI
3. Sejarah Umat Islam,
Singapura:Pustaka Nasional Ltd
No comments:
Post a Comment