Tuesday, January 6, 2015

pengertian budaya jawa



Pengertian Budaya Kejawen
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau barangkali boleh dikatakan agama yang terutama dianut oleh masyarakat suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Pulau Jawa. Kata kejawen berasal dari bahasa Jawa, yang artinya segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. Penamaan “kejawen” bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama lokal Indonesia. Seorang ahli antropologi Amerika Serikat, Clifford Geertz, pernah menulis agama ini dalam bukunya yang ternama, The Religion of Java.
Kejawen dalam opini umum, berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta filosofi orang-orang Jawa. Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan “ibadah”). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketet, dan menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam ajaran demikian, kejawen memiliki kemiripan dengan  Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama dengan ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada perluasan ajaran (misi), namun pembinaan dilakukan secara rutin.
Konfusianisme adalah salah satu paham yang berintikan nilai-nilai moral kebaikan kepadda penganutnya. Konfusianisme dicetuskan oleh seorang filsul Cina yang bernama Konfusius. Ia lahir pada abad ke-5 di Sando, Cina.
Taoisme merupakan aliran falsafah penting di Cina sesudah Konfusianisme. Bentuk ajarannya yang awal dinisbahkan kepada Lao Tze dan Yang Chu. Tetapi sebagai paham falsafah, Taoisme baru dikenal pada abad ke-1 Sebelum masehi. Yang pertama kali menyebut sistem ini sebagai madzhab falsafat ialah Ssu-ma Ch’ien dalam bukunya, Shih Chi  (Rekaman Sejarah).
Simbol – simbol “laku” biasanya melibatkan benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantra, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, sesajen, dan lain sebagainya. Akibatnya, banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan. Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik agama Hindu, agama Buddha, agama Islam, maupun agama Kristen. Oleh karena itu, lahirlah yang namanya Islam kejawen.
Menurut Kodiran (1971), kebudayaan spiritual Jawa yang disebut kejawen ini memiliki ciri-ciri umum. Pertama, orang Jawa percaya bahwa hidup di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan yang Mahakuasa. Mereka bersifat nrima (menerima) takdir sehingga mereka tahan dalam hal menderita. Kedua, orang Jawa percaya pada kekuatan gaib yang ada pada benda-benda seperti keris, kereta istana, dan gamelan. Benda-benda tersebut setiap tahun harus dimandikan (dibersihkan) pada hari jumat kliwon bulan Suro dengan upacara siraman. Ketiga, orang Jawa percaya terhadap roh leluhur dan roh halus yang berada disekitar tempat tinggal mereka. Dalam kepercayaan mereka, roh halus tersebut dapat mendatangkan keselamatan apabila mereka dihormati dengan melakukan selametan dan sesaji pada waktu-waktu tertentu.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa budaya kejawen adalah laku spiritual berdasarkan pandangan hidup atau falsafah hidup Jawa, atau disebut juga jawaisme (javanism). Yang paling utama dalam laku spiritual Jawa adalah perilaku didasari oleh cinta kasih dan pengalaman nyata. Maka, bagi siapapun yang mengaku menghayati falsafah hidup Jawa namun perangainya masih mudah terbawa api emosi, angkara murka, reaktif, sektarian, dan primordialisme, kiranya belum memahami secara baik nilai-nilai dalam falsafah hidup kejawen. Budaya kejawen merupakan bagian dari ribuan budaya yang ada di dunia. Setiap masyarakat, bangsa, dan budaya biasanya memiliki nilai-nilai tradisi budaya yang di pegang teguh sebagai pedoman hidup. Sebagai contoh, budaya Islam yang dikenal dengan tradisi tasawuf dan orang-orang mendalaminya dikenal dengan orang-orang zuhud dan sufi, budaya Buddha atau yang di kenal Buddisme, budaya Hindu atau yang dikenal Hinduisme, dan masih banyak lagi budaya-budaya di dunia ini.
Budaya lebih fleksibeln jika dibandingkan dengan agama, sebab budaya tidak mempersoalkan latar belakang ajaran, agama ataupun adat orang yang ingin menghayatinya. Meski demikian hal tersebut tidak menimbulkan risiko terjadinya benturan nilai-nilai. Sebab dalam tradisi budaya yang sesungguhnya, keberagaman “kulit” akan dikupas, lalu diambil maknawiyahnya yang bersifat hakikat atau esensial. Orang Jawa, Hindu, Kristen, dan Buddha bisa saja mempelajari ilmu tasawuf. Demikian pula sebaliknya, umat Islam bisa pula mempelajari falsafah hidup Jawa. Hanya saja, kecenderungan kekuasaan rezim agama akan membuat batasan-batasan tegas para penghayat budaya dengan budaya itu sendiri. Bahkan sering terjadi prejudice (prasangka), pencitraan secara subjektif, dan punishment (hukuman) yang berdasarkan kepentingan rezim. Jangankan terhadap lintas budaya dan agama, di dalam lingkup budaya itu sendiri pun kerap terjadi hal-hal tersebut. Contoh sebagian saja sebagian umat Islam melarang sesama umat Islam lainnya masuk ke dalam wilayah budaya Islam. Pelanggaran tersebut dilakukan dengan dalih agama pula, sehingga sering kali membelenggu dinamika kesadaran umat. Maka, yang terjadi adalah umat yang terkesan “agamis” tetapi sangat miskin pencapaian spiritual.
Lalu, bagaimana budaya kejawen? Budaya kejawen lain dari yang lain. Kaum kejawen memiliki tradisi asli. Tradisi tersebut berupa pemujaan kekuatan adikodrati yang diwujudkan dalam ritual slametan. Itulah sebabnya budaya kejawen adalah gejala religi unik. Keunikan budaya kejawen juga terletak pada pemanfaatan ngelmu titen yang telah berlangsung turun-temurun. Kehidupan sehari-hari, tubuh, dan lingkungan sekitarnya adalah sumber “kitab” budaya kejawen. Bahkan “kitab” mistik kejawen adalah hidup itu sendiri. Adapun “hadist” dan jantung pelaksanaan tradisi kejawen yang menjadi wahana budaya. Melalui slametan, ritual budaya mendapatkan jalan lurus menuju sasaran, yakni Tuhan.

konsep budaya jawa



Konsep Budaya Kejawen Tentang Pahala, Dosa, Kebaikan, dan Keburukan
Pahala, dosa, kebaikan, dan keburukan adalah empat hal yang saling bersinergi. Maksudnya, pahala merupakan buah ganjaran kebaikan, sedangkan dosa adalah buah ganjaran keburukan. Dalam agama apa pun, ajaran konsep seperti ini hampir sama. Perbuatan baik atau kebajikan akan mendatangkan pahala, sedangkan perbuatan buruk atau perbuatan tidak baik (dalam arti melanggar norma agama) akan mendatangkan dosa. Lalu seperti apakah konsep pahala, dosa, kebaikan, dan keburukan dalam budaya kejawen?
Ajaran kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam setiap beribadah (kebaikan). Bagi kejawen, motivasi beribadah atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula dalam melakukan sembahyang menyembah Tuhan Yang Maha Suci, bukan karena takut neraka atau tergiur iming-iming surga. Budaya kejawen memiliki kesadaran bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas alasan ketakutan dan intimidasi dosa neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri. Kebaikan kita kepada sesama adalah kebutuhan diri sendiri. Kebaikan akan berbuah kebaikan, karena kebaikan yang kita lakukan kepada sesama akan kembali untuk diri sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali berlipat ganda. Demikian pula sebaliknya kejahatan akan berubah kejahatan pula.

Konsep Budaya Kejawen Tentang Tuhan
Di dalam pandangan budaya kejawen, Tuhan tidak pernah menghukum ciptaan-Nya sendiri. Sebab sebagaimana semua agama di dunia ini, budaya kejawen meyakini bahwa Tuhan bisa membuat apa saja, dan sempurna. Intinya untuk apa Tuhan menghukum makhluk ciptaan-Nya sendiri? Bukankah Tuhan sesungguhnya dapat membuat manusia sempurna?
Konsep tentang Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang disembah (sesembah) dan siapa saja menyembah serta bagaimana cara menyembahnya (penyembah). Sebelum datangnya Hindu dan Buddha di Tanah Jawa, banyak yang mengira masyarakat Jawa menganut paham animisme dan dinamisme, bahkan ada yang menyebut politeisme. Sekarang konsep budaya kejawen mungkin lebih bisa diartikan kearah new age atau malah agnostik, yaitu dengan bertuhan tetapi tidak mempercayai dan mengadopsi cerita nabi/malaikat, karena memang budaya kejawen mengedepankan laku pribadi dan menolak adanya konsep malaikat. Sebagaimana yang ditelusuri oleh Prof.Purbacaraka dan termaktub dalam kitab Tantu Panggelaran, konsep awal Tuhan Jawa adalah tunggal atau esa, yaitu Sang Hyang Tunggal / Sang Hyang Wenang yang merupakan konsep transenden (di luar kemampuan manusia), imanen (berada dalam kesadaran atau akal budi), dan esa.
Setelah Hindu dan Buddha masuk, konsep tersebut tersingkir dengan adanya Sang Hyang Mahadewa (Bathara Guru) dan semakin tergeser pada zaman Islam dengan masuknya Sang Hyang Adhama dan Sang Hyang Nurcahya, dimana Sang Hyang Wenang mengalah dengan menempati posisi dibawah Sang Hyang Adhama. Meskipun dinalar cukup rumit dan ruwet, namun dalam keberadaan Jawa yang mengutamakan laku, hal tersebut tidak ada masalah. Sebab, dalam kenyataan yang melekat pada sanubari masyarakat berbudaya kejawen adalah sebutan pangeran atau gusti yang dirasa lebih pas di kalbu ketika menyebut konsep Tuhan. 

budaya jawa



Pendahuluan
Budaya kejawen. Istilah ini mungkin sudah begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Sebab budaya kejawen sudah menjadi “sesuatu” bagi orang jawa; bagian yang tak terpisahkan dari tradisi Jawa. Misalnya ada yang beranggapan  bahwa budaya kejawen adalah agama Jawi (agama orang Jawa). Ada pula yang mengatakan budaya kejawen adalah budaya orang Jawa. Ada pula yang melihat budaya kejawen hanya sebagai kepercayaan kebatinan. Dan, masih banyak lagi prakonsepsi tentang budaya kejawen.
Lantas apa sebenarnya budaya kejawen itu? Apakah ia adalah sebuah agama, budaya, aliran kebatinan, atau yang lainnya? Inilah pertanyaan yang sampai detik ini masih menjadi kontroversi. Dikatakan demikian, sebab jawaban dari pertanyaan tersebut di tengah masyarakat khususnya Jawa, sangat beragam. Beragam pendapat inilah yang kemudian memicu kontroversi mengenai devinisi atau makna sebenarnya dari budaya kejawen. Untuk menjawab permasalahan tersebut maka makalah ini saya buat sesuai dengan buku yang telah saya baca.
Meskipun ditataran makna terdapat kontroversi, namun ada satu hal yang tidak menimbulkan perdebatan mengenai budaya kejawen, yakni budaya kejawen atau ajaran kejawen sudah ada jauh sebelum Islam datang dan menyebar di Tanah Jawa. Bahkan, ajaran kejawen sudah ada sejak zaman kebuyutan (zaman di mana Pulau Jawa masih dihuni oleh sedikit manusia). Di zaman ini, agama tertua yang pernah ada di bumi pertiwi ini pun (Hindu dan Buddha) masih belum berkembang. Dengan demikian ajaran kejawen sudah ada sebelum masuknya agama Hindu, agama Buddha, agama Kristen dan agama Islam ke Tanah Jawa. Lalu seperti apakah budaya kejawen di zaman kebuyutan itu?
Terdapat sinkretisasi dan akulturasi budaya Jawa dengan nilai-nilai Islam, sehingga menyebabkan munculnya aliran Islam kejawen. Terlepas dari kontroversi ataukah bid’ah aliran Islam kejawen itu, yang jelas dalam praktik sehari-hari, banyak sekali umat Islam di Jawa yang masih mengikuti tradisi kejawen, seperti slametan, sesajen, laku puasa, dan lain-lain.