Tuesday, January 6, 2015

konsep budaya jawa



Konsep Budaya Kejawen Tentang Pahala, Dosa, Kebaikan, dan Keburukan
Pahala, dosa, kebaikan, dan keburukan adalah empat hal yang saling bersinergi. Maksudnya, pahala merupakan buah ganjaran kebaikan, sedangkan dosa adalah buah ganjaran keburukan. Dalam agama apa pun, ajaran konsep seperti ini hampir sama. Perbuatan baik atau kebajikan akan mendatangkan pahala, sedangkan perbuatan buruk atau perbuatan tidak baik (dalam arti melanggar norma agama) akan mendatangkan dosa. Lalu seperti apakah konsep pahala, dosa, kebaikan, dan keburukan dalam budaya kejawen?
Ajaran kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam setiap beribadah (kebaikan). Bagi kejawen, motivasi beribadah atau melakukan perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula dalam melakukan sembahyang menyembah Tuhan Yang Maha Suci, bukan karena takut neraka atau tergiur iming-iming surga. Budaya kejawen memiliki kesadaran bahwa kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas alasan ketakutan dan intimidasi dosa neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri. Kebaikan kita kepada sesama adalah kebutuhan diri sendiri. Kebaikan akan berbuah kebaikan, karena kebaikan yang kita lakukan kepada sesama akan kembali untuk diri sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali berlipat ganda. Demikian pula sebaliknya kejahatan akan berubah kejahatan pula.

Konsep Budaya Kejawen Tentang Tuhan
Di dalam pandangan budaya kejawen, Tuhan tidak pernah menghukum ciptaan-Nya sendiri. Sebab sebagaimana semua agama di dunia ini, budaya kejawen meyakini bahwa Tuhan bisa membuat apa saja, dan sempurna. Intinya untuk apa Tuhan menghukum makhluk ciptaan-Nya sendiri? Bukankah Tuhan sesungguhnya dapat membuat manusia sempurna?
Konsep tentang Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang disembah (sesembah) dan siapa saja menyembah serta bagaimana cara menyembahnya (penyembah). Sebelum datangnya Hindu dan Buddha di Tanah Jawa, banyak yang mengira masyarakat Jawa menganut paham animisme dan dinamisme, bahkan ada yang menyebut politeisme. Sekarang konsep budaya kejawen mungkin lebih bisa diartikan kearah new age atau malah agnostik, yaitu dengan bertuhan tetapi tidak mempercayai dan mengadopsi cerita nabi/malaikat, karena memang budaya kejawen mengedepankan laku pribadi dan menolak adanya konsep malaikat. Sebagaimana yang ditelusuri oleh Prof.Purbacaraka dan termaktub dalam kitab Tantu Panggelaran, konsep awal Tuhan Jawa adalah tunggal atau esa, yaitu Sang Hyang Tunggal / Sang Hyang Wenang yang merupakan konsep transenden (di luar kemampuan manusia), imanen (berada dalam kesadaran atau akal budi), dan esa.
Setelah Hindu dan Buddha masuk, konsep tersebut tersingkir dengan adanya Sang Hyang Mahadewa (Bathara Guru) dan semakin tergeser pada zaman Islam dengan masuknya Sang Hyang Adhama dan Sang Hyang Nurcahya, dimana Sang Hyang Wenang mengalah dengan menempati posisi dibawah Sang Hyang Adhama. Meskipun dinalar cukup rumit dan ruwet, namun dalam keberadaan Jawa yang mengutamakan laku, hal tersebut tidak ada masalah. Sebab, dalam kenyataan yang melekat pada sanubari masyarakat berbudaya kejawen adalah sebutan pangeran atau gusti yang dirasa lebih pas di kalbu ketika menyebut konsep Tuhan. 

No comments:

Post a Comment