Konsep
Budaya Kejawen Tentang Pahala, Dosa, Kebaikan, dan Keburukan
Pahala,
dosa, kebaikan, dan keburukan adalah empat hal yang saling bersinergi.
Maksudnya, pahala merupakan buah ganjaran kebaikan, sedangkan dosa adalah buah
ganjaran keburukan. Dalam agama apa pun, ajaran konsep seperti ini hampir sama.
Perbuatan baik atau kebajikan akan mendatangkan pahala, sedangkan perbuatan
buruk atau perbuatan tidak baik (dalam arti melanggar norma agama) akan
mendatangkan dosa. Lalu seperti apakah konsep pahala, dosa, kebaikan, dan
keburukan dalam budaya kejawen?
Ajaran
kejawen tidak pernah menganjurkan seseorang menghitung-hitung pahala dalam
setiap beribadah (kebaikan). Bagi kejawen, motivasi beribadah atau melakukan
perbuatan baik kepada sesama bukan karena tergiur surga. Demikian pula dalam
melakukan sembahyang menyembah Tuhan Yang Maha Suci, bukan karena takut neraka
atau tergiur iming-iming surga. Budaya kejawen memiliki kesadaran bahwa
kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang kepada sesama bukan atas alasan
ketakutan dan intimidasi dosa neraka, melainkan kesadaran kosmik bahwa setiap
perbuatan baik kepada sesama merupakan sikap adil dan baik pada diri sendiri.
Kebaikan kita kepada sesama adalah kebutuhan diri sendiri. Kebaikan akan
berbuah kebaikan, karena kebaikan yang kita lakukan kepada sesama akan kembali
untuk diri sendiri, bahkan satu kebaikan akan kembali berlipat ganda. Demikian
pula sebaliknya kejahatan akan berubah kejahatan pula.
Konsep Budaya Kejawen Tentang Tuhan
Di
dalam pandangan budaya kejawen, Tuhan tidak pernah menghukum ciptaan-Nya
sendiri. Sebab sebagaimana semua agama di dunia ini, budaya kejawen meyakini
bahwa Tuhan bisa membuat apa saja, dan sempurna. Intinya untuk apa Tuhan
menghukum makhluk ciptaan-Nya sendiri? Bukankah Tuhan sesungguhnya dapat
membuat manusia sempurna?
Konsep
tentang Tuhan mencakup konsep mengenai siapa yang disembah (sesembah) dan siapa
saja menyembah serta bagaimana cara menyembahnya (penyembah). Sebelum datangnya
Hindu dan Buddha di Tanah Jawa, banyak yang mengira masyarakat Jawa menganut
paham animisme dan dinamisme, bahkan ada yang menyebut politeisme. Sekarang
konsep budaya kejawen mungkin lebih bisa diartikan kearah new age atau malah
agnostik, yaitu dengan bertuhan tetapi tidak mempercayai dan mengadopsi cerita
nabi/malaikat, karena memang budaya kejawen mengedepankan laku pribadi dan
menolak adanya konsep malaikat. Sebagaimana yang ditelusuri oleh
Prof.Purbacaraka dan termaktub dalam kitab Tantu Panggelaran, konsep awal Tuhan
Jawa adalah tunggal atau esa, yaitu Sang Hyang Tunggal / Sang Hyang Wenang yang
merupakan konsep transenden (di luar kemampuan manusia), imanen (berada dalam
kesadaran atau akal budi), dan esa.
Setelah
Hindu dan Buddha masuk, konsep tersebut tersingkir dengan adanya Sang Hyang
Mahadewa (Bathara Guru) dan semakin tergeser pada zaman Islam dengan masuknya
Sang Hyang Adhama dan Sang Hyang Nurcahya, dimana Sang Hyang Wenang mengalah
dengan menempati posisi dibawah Sang Hyang Adhama. Meskipun dinalar cukup rumit
dan ruwet, namun dalam keberadaan Jawa yang mengutamakan laku, hal tersebut
tidak ada masalah. Sebab, dalam kenyataan yang melekat pada sanubari masyarakat
berbudaya kejawen adalah sebutan pangeran atau gusti yang dirasa lebih pas di
kalbu ketika menyebut konsep Tuhan.
No comments:
Post a Comment