Saturday, November 4, 2017

ETIKA PROFESI AKUNTANSI (ETHICAL GOVERNANCE )



MATERI 4
ETHICAL GOVERNANCE

Pengertian
            Ethical governance (Etika pemerintahan) adalah berperilaku sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan rangkaian proses, kebijakan atau aturan dari suatu perusahaan. Selain itu, ethical governance juga bisa diartikan sebagai ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam  etika pemerintahan terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya.  
            Istilah Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committe, Inggris pada tahun 1922 dalam laporannya yang bertajuk Cadbury Report  (Sukrisno Agoes, 2006). Mereka kemudian  mendefinisikan corporate governance sebagai “seperangkat peraturan yuang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”
            Istilah corporate governance selanjutnya dipopulerkan oleh Robert I. Tricker pada tahun 1984, yang memilah-milah istilah ini kedalam sub-sub bidang kegiatan berikut:
1.      Direction                     : formulating the strategic direction from the future of  the enterprise in the long term
2.      Executive action          : involvement in crucial executive decisions
3.      Supervision                   :monitoring and oversight of management performance
4.      Accountability             : recognizing responsibilities to those making legitimate demand for accountability.
Good Corporate Governance (GCG) adalah upaya perbaikan terhadap sistem, proses, dan seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi yang pada esensinya mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang, hak, dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam arti luas dan khususnya organ Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS), dewan komisaris, dan dewan direksi dalam arti sempit.

Fungsi Etika Pemerintahan
Secara umum, fungsi etika pemerintahan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun, dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
2.       Sebagai acuan untuk meilai apakah keputusan dan atau tindakan pejabat pemerintahan itu baik atau buruk, terpuji atau tercela.
Faktor Penghambat Pelaksanaan Etika Pemerintahan
1.      Akibat persepsi, perilaku dan gaya manajerial berupa: penyalahgunaan wewenang, menerima sogok, takut perubahan dan inovasi, sombong menghindari kritik, nepotisme, arogan, tidal adil, otoriter.
2.      Akibat pengetahuan dan keterampilan berupa: puas diri, tidak teliti, bertindak tanpa berfikir, tidak mau berkembang/belajar, pasif, kurang inisiatif, tidak produktif.
3.      Karena tindakan melanggar hukum berupa: markup, menerima suap, tidak jujur, korupsi, penipuan, criminal, sabotase, dsb.
4.      Akibat perilaku berupa: kesewenangan, pemaksaan, konspirasi, diskriminasi, tidak sopan, kerja legalistic, dramatisasi, indisipliner, negatifisme, kepentingan sendiri, non professional, pemborosan, dsb.
5.      Akibat situasi internal berupa: tujuan dan sasaran tidak efektif dan efisien, kewajiban sebagai beban, eksploitasi, pemerasan, pengangguran terselubung, kondisi kerja yang tidak nyaman, tidak akan kinerja, miss komunikasi dan informasi.

Prinsip-prinsip GCG
            Komite Nasional kebijakan Good Corporate Governance (KNKGCG) yang dibentuk tahun 1999 berdasarkan SK Menko Ekuin Nomor KEP/31/M. EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan pedoman GCG. Pedoman tersebut disempurnakan pada tahun 2006 oleh Komite Nasional Kebijakan Good (KNKG) pengganti KNKGCG. KNKG mengeluarkan pedoman umum GCG Indonesia yang berisi lima prinsip  dasar sebagai berikut (Arafat dan Waluyo,2008) :
1.      Transparansi
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Contohnya mengemukakan informasi target produksi yang akan dicapai dalam rencana kerja dalam tahun mendatang, pencapaian laba.

2.       Kemandirian
suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Misalnya pada perusahaan ini sedang membangun pabrik, tetapi limbahnya tidak bertentangan dengan UU lingkungan yg dapat merugikan piha lain.

3.      Akuntabilitas
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Misalnya seluruh pelaku bisnis baik individu maupun kelompok tidak boleh bekerja asal jadi, setengah-setengah atau asal cukup saja, tetapi harus selalu berupaya menyelesaikan tugas dan kewajibannya dengan hasil yang bermutu tinggi.

4.      Pertanggungjawaban
kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Contohnya dalam hal ini Komisaris, Direksi, dan jajaran manajemennya dalam menjalankan kegiatan operasi perusahaan harus sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.

5.      Kewajaran (fairness)
keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya memperlakukan rekanan sebagai mitra, memberi perlakuan yang sama terhadap semua rekanan, memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan/pembeli, dan sebagainya.

Untuk mewujudkan komponen-komponen atau prinsip-prinsip tersebut, menurut Mas Ahmad Daniri, Sekretaris NCGC (The National Committee on Corporate Governance) di perlukan 6 pilar yaitu :
1.      Sistem perlindungan hak pemegang saham
2.      Visi, misi, dan strategi yang jelas
3.      Kembangkan keseimbangan peran dan fungsi organ perusahaan
4.      Sistem akuntansi dan MIS (Management Information System) yang menjamin transparansi
5.      Manajemen pengendalian  risiko, kepatuhan aturan, dan sistem audit yang handal
6.      Sistem pengukuran kinerja dan pengembangan SDM
Untuk pelaksanaan GCG di Indonesia, Bursa Efek Jakarta mensyaratkan agar perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEJ harus mempunyai Komisaris Independen dan Komite Audit, dan kemudian muncul ide perlunya Direktur Independen, yang mewakili publik, atau mayoritas pemegang saham. Di luar negeri khususnya di Amerika hampir tidak ada pemegang saham pengendali, sebaliknya kondisi di Indonesia agak lain, banyak perusahaan yang masih memiliknya karena perusahaan-perusahaan tersebut bermula  dari perusahaan keluarga yang kemudian go public, kiranya hanya 30% yang dilepas (Daniri, 2002: 30-31). Mekanisme tat kelola perusahaan yang baik (GCG) dimulai dari manajemen yang menyiapkan lapooran keuangan dan disampaikan pada auditor yang mengaudit laporan keuangan tersebut. (Larry, 2001)
Auditor kemudian memberikan jaminan profesional pada Board of Directors (yang dipilih pemegang saham) dan komite audit. Juga kepada pihak lainnya, seperti kreditor, pemasok, dan lembaga pemerintah.
Permasalahan yang timbul dalam penerapan GCG
1.      Pemahaman tentang konsep GCG pada beberapa manajer di Indonesia masih kurang. Sering mereka memahami konsep GCG secara general dan tidak spesifik, terutama berdasarkan bentuk organisasi bisnis yang dijalankan.
2.      Sebagian pihak menganggap konsep GCG dianggap sebagai penghambat berbagai keputusan perusahaan, karena perusahaan tidak lagi bisa leluasa dalam mengambil keputusan khususnya harus patuh pada aturan GCG.
3.      Aparat penegak hukum harus dibekali konsep pemahaman GCG secara luas termasuk adanya jurnal dan buku teks yang menjelaskan secara khusus tentang GCG dalam konteks perspektif Indonesia.
4.      Menurut Herwidayatmo (2000), praktik-praktik di Indonesia yang bertentangan dengan konsep GCG dapat dikelompokan menjadi :
a.       Adanya konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan.
b.      Tidak efektifnya dewan komisaris.
c.       Lemahnya law enforcement.

Sumber :
Sumber :
Ardiansyah, Panji. 2017. ETIKA BISNIS Bagaimana Membangun Bisnis yang Beretika. Yogyakarta : Quadrant
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. ALFABETA, cv
Sigit P, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern. Edisi Pertama. Cetakan Pertama.

No comments:

Post a Comment