MATERI 4
ETHICAL GOVERNANCE
ETHICAL GOVERNANCE
Pengertian
Ethical
governance (Etika pemerintahan)
adalah berperilaku sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan
rangkaian proses, kebijakan atau aturan dari suatu perusahaan. Selain itu, ethical governance juga bisa diartikan
sebagai ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai
keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam etika pemerintahan terdapat juga masalah
kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya.
Istilah Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committe, Inggris pada tahun
1922 dalam laporannya yang bertajuk Cadbury
Report (Sukrisno Agoes, 2006).
Mereka kemudian mendefinisikan corporate governance sebagai
“seperangkat peraturan yuang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus
(pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan
hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”
Istilah corporate governance selanjutnya dipopulerkan oleh Robert I.
Tricker pada tahun 1984, yang memilah-milah istilah ini kedalam sub-sub bidang
kegiatan berikut:
1. Direction : formulating
the strategic direction from the future of
the enterprise in the long term
2. Executive action :
involvement in crucial executive
decisions
3. Supervision :monitoring and oversight of management
performance
4. Accountability :
recognizing responsibilities to those
making legitimate demand for accountability.
Good Corporate Governance (GCG) adalah upaya perbaikan terhadap sistem,
proses, dan seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi yang pada
esensinya mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang, hak, dan kewajiban semua
pemangku kepentingan dalam arti luas dan khususnya organ Rapat Umum Pemegang
Saham(RUPS), dewan komisaris, dan dewan direksi dalam arti sempit.
Fungsi Etika
Pemerintahan
Secara umum,
fungsi etika pemerintahan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun, dalam pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan.
2. Sebagai acuan untuk meilai
apakah keputusan dan atau tindakan pejabat pemerintahan itu baik atau buruk,
terpuji atau tercela.
Faktor Penghambat Pelaksanaan Etika Pemerintahan
1.
Akibat persepsi, perilaku dan gaya manajerial berupa:
penyalahgunaan wewenang, menerima sogok, takut perubahan dan inovasi, sombong
menghindari kritik, nepotisme, arogan, tidal adil, otoriter.
2.
Akibat pengetahuan dan keterampilan berupa: puas diri,
tidak teliti, bertindak tanpa berfikir, tidak mau berkembang/belajar, pasif,
kurang inisiatif, tidak produktif.
3.
Karena tindakan melanggar hukum berupa: markup,
menerima suap, tidak jujur, korupsi, penipuan, criminal, sabotase, dsb.
4.
Akibat perilaku berupa: kesewenangan, pemaksaan,
konspirasi, diskriminasi, tidak sopan, kerja legalistic, dramatisasi,
indisipliner, negatifisme, kepentingan sendiri, non professional, pemborosan,
dsb.
5.
Akibat situasi internal berupa: tujuan dan sasaran
tidak efektif dan efisien, kewajiban sebagai beban, eksploitasi, pemerasan,
pengangguran terselubung, kondisi kerja yang tidak nyaman, tidak akan kinerja,
miss komunikasi dan informasi.
Prinsip-prinsip GCG
Komite Nasional kebijakan Good Corporate Governance (KNKGCG) yang
dibentuk tahun 1999 berdasarkan SK Menko Ekuin Nomor KEP/31/M. EKUIN/08/1999
telah mengeluarkan pedoman GCG. Pedoman tersebut disempurnakan pada tahun 2006
oleh Komite Nasional Kebijakan Good (KNKG)
pengganti KNKGCG. KNKG mengeluarkan pedoman umum GCG Indonesia yang berisi lima
prinsip dasar sebagai berikut (Arafat
dan Waluyo,2008) :
1. Transparansi
keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi
materiil dan relevan mengenai perusahaan. Contohnya mengemukakan informasi
target produksi yang akan dicapai dalam rencana kerja dalam tahun mendatang,
pencapaian laba.
2. Kemandirian
suatu keadaan di mana perusahaan
dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan
dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Misalnya pada perusahaan ini
sedang membangun pabrik, tetapi limbahnya tidak bertentangan dengan UU
lingkungan yg dapat merugikan piha lain.
3. Akuntabilitas
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara
efektif. Misalnya seluruh pelaku bisnis baik individu maupun kelompok tidak
boleh bekerja asal jadi, setengah-setengah atau asal cukup saja, tetapi harus
selalu berupaya menyelesaikan tugas dan kewajibannya dengan hasil yang bermutu
tinggi.
4. Pertanggungjawaban
kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Contohnya dalam hal ini Komisaris,
Direksi, dan jajaran manajemennya dalam menjalankan kegiatan operasi perusahaan
harus sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
5. Kewajaran (fairness)
keadilan dan kesetaraan di dalam
memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Misalnya memperlakukan rekanan sebagai mitra,
memberi perlakuan yang sama terhadap semua rekanan, memberikan pelayanan yang
terbaik bagi pelanggan/pembeli, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan komponen-komponen
atau prinsip-prinsip tersebut, menurut Mas Ahmad Daniri, Sekretaris NCGC (The National Committee on Corporate
Governance) di perlukan 6 pilar yaitu :
1. Sistem perlindungan hak pemegang
saham
2. Visi, misi, dan strategi yang jelas
3. Kembangkan keseimbangan peran dan
fungsi organ perusahaan
4. Sistem akuntansi dan MIS (Management Information System) yang
menjamin transparansi
5. Manajemen pengendalian risiko, kepatuhan aturan, dan sistem audit
yang handal
6. Sistem pengukuran kinerja dan
pengembangan SDM
Untuk
pelaksanaan GCG di Indonesia, Bursa Efek Jakarta mensyaratkan agar
perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEJ harus mempunyai Komisaris Independen
dan Komite Audit, dan kemudian muncul ide perlunya Direktur Independen, yang
mewakili publik, atau mayoritas pemegang saham. Di luar negeri khususnya di
Amerika hampir tidak ada pemegang saham pengendali, sebaliknya kondisi di
Indonesia agak lain, banyak perusahaan yang masih memiliknya karena
perusahaan-perusahaan tersebut bermula
dari perusahaan keluarga yang kemudian go public, kiranya hanya 30% yang dilepas (Daniri, 2002: 30-31).
Mekanisme tat kelola perusahaan yang baik (GCG) dimulai dari manajemen yang
menyiapkan lapooran keuangan dan disampaikan pada auditor yang mengaudit
laporan keuangan tersebut. (Larry, 2001)
Auditor
kemudian memberikan jaminan profesional pada Board of Directors (yang dipilih pemegang saham) dan komite audit.
Juga kepada pihak lainnya, seperti kreditor, pemasok, dan lembaga pemerintah.
Permasalahan yang timbul dalam penerapan GCG
1. Pemahaman tentang konsep GCG pada
beberapa manajer di Indonesia masih kurang. Sering mereka memahami konsep GCG
secara general dan tidak spesifik, terutama berdasarkan bentuk organisasi
bisnis yang dijalankan.
2. Sebagian pihak menganggap konsep GCG
dianggap sebagai penghambat berbagai keputusan perusahaan, karena perusahaan
tidak lagi bisa leluasa dalam mengambil keputusan khususnya harus patuh pada
aturan GCG.
3. Aparat penegak hukum harus dibekali
konsep pemahaman GCG secara luas termasuk adanya jurnal dan buku teks yang
menjelaskan secara khusus tentang GCG dalam konteks perspektif Indonesia.
4. Menurut Herwidayatmo (2000),
praktik-praktik di Indonesia yang bertentangan dengan konsep GCG dapat
dikelompokan menjadi :
a. Adanya konsentrasi kepemilikan oleh
pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik,
pengawas, dan direktur perusahaan.
b. Tidak efektifnya dewan komisaris.
c. Lemahnya law enforcement.
Sumber :
Sumber :
Ardiansyah, Panji. 2017. ETIKA BISNIS
Bagaimana Membangun Bisnis yang Beretika. Yogyakarta : Quadrant
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan
Kedua. ALFABETA, cv
Sigit P, Tri Hendro.
2012. Etika Bisnis Modern. Edisi
Pertama. Cetakan Pertama.
No comments:
Post a Comment