Wednesday, November 1, 2017

MATERI 1,2,3,4

MATERI 1
PENDAHULUAN
ETIKA SEBAGAI TINJAUAN
1.1  Pengertian Etika
Etika berasal dari kata Yunani yaitu ethos yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalag ta etha, yang berarti adat istiadat.dalam hal ini etika sama pengertiannya dengan moral.
Etika didefinisikan sebagai prinsip-prinsip tentang tingkah laku yang benar atau yang baik. Etika juga berati sistem prinsip atau nilai-nilai moral, sedangkan ethics ialah ketentuan ketentuan atau ukuran yang mengatur tingkah laku para anggota suatu profesi, (Madjid, 1998:14).
Menurut Suhardana (2006) dalam Sukirno Agus dan I Cekik Ardana (2009: 127-128) istilah lain dari etika adalah susila, suartinya baik, sila artinya kebiasaan atau tingkah laku perbuatan manusia yang baik.
Menurut Lawrence, Weber dan Post (2005) dalam Sukirno Agus dan I Cekik Ardana (2009: 127-128) etika adalah suatu konsepsi tentang perilaku benar dan salah. Etika menjelaskan kepada kita apakah perilaku kita bermoral atau tidak berkaitan dengan hubungan kemanusiaan yang fundamental, bagaimana kita berpikir dan bertindak kepada orang lain dan bagaimana kita inginkan mereka berpikir dan bertindak terhadap kita.
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia etika berarti “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban (moral)”.
1.2  Tujuan Etika
Tujuan adalah sesuatu yang dikehendaki, baik individu maupun kelompok. Tujuan etiks yang dimaksud merupakan tujuan mewujudkan kebahagiaan. Tujuan utama etika yaitu menemukan, menentukan, membatasi, dan membenarkan kewajiban, hak, cita-cita moral dari individu dan masyarakatnya, baik masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat profesi.
Etika sebagai suatu ilmu, merupakan salah satu cabangdari filsafat. Sifat praktis, normative dan fungsional, sehingga dengan demikian merupakan suatu ilmu yang langsung berguna dalam pergaulan hidup sehari-hari. Etika juga dapat menjadi asa dan menjiwai norma-norma dalam kehidupan, di samping sekaligus memberika penilaian teerhadap corak perbuatan seseorang sebagai manusia.
1.3  Fungsi Etika
I Gede A.B. Wiranata dalam bukunya menuliskan beberapa pendapat para ahli tentang fungsi etika, diantaranya adalah Rohaniawan Frenz Magnis-Suseno, ia menyatakan bahwa etika berfungsi untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam kehidupan dengan moralitas yang membingungkan.
1.4  Macam-macam Etika
a.       Etika deskriptif
Etika deskriptif ialah di mana objek yang dinilai adalah sikap dan perilaku manusia dalam mengejar tujuan hidupnya sebagaimana adanya, ini tercermin pada situasi dan kondisi yang telah membupotensi di masyarakat secara turun temurun. Sedangkan menurut Burhanuddin Salam, etika deskriptif adalah etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola perilaku manusia dan apa yang dikerjakan oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
b.      Etika normatif
Etika normatif yaitu sikap dan perilaku manusi atau masyarakat sesuai dengan norma dan moralitas yang ideal. Etika ini secara umum dinilai memenuhi tuntutandan perkembangan dinamika serta kondisi masyarakat. Ada tuntutan yang menjadi acuan bagi umum atau semua pihak dalam menjalankan perikehidupan. Etika normatif ini adalah etika yang mengacu pada norma-norma atau standar moral yang diharapkan untuk mempengaruhi perilaku, kebijakan, keputusan, karakter individu, dan struktur social.
c.       Etika analitis yaitu memberikan penilaian tentang baik-buruk, tanggung jawab moral dan argumentasi moral (moral reasoning).
1.5  Teori-teori Etika
Secara umum, teori etika berkembang atas dasar paradigm kehidupan manusiayang tidak utuh sesuai penalaran-penalaran rasional yang terbatas kepada makna dan tujuan hidup manusia. Tabel berikut meringkas keterkaitan antarteori etika yang apabila dipadukan berubah menjadi teori tunggal berdasarkan paradigm hakikat manusia secara utuh.
Tabel Teori Etika, Paradigma Hakikat Manusia, dan Kecerdasan
No
Teori
Logika
Kriteria Etika
Tujuan Hidup
1
Egoisme
Tujuan dari tindakan
Memenuhi kepentingan pribadi
Kenikmatan duniawi secara individu
2
Utilitarianisme
Tujuan dari tindakan
Memberi manfaat/kegunaan bagi banyak orang
Kesejahteraan duniawi masyarakat
3
Deontologi (Imannuel Kant)
Tindakan itu sendiri
Kewajiban mutlak setiap orang
Demi kewajiban itu sendiri
4
Hak Asasi
Tingkat kepatuhan terhadap HAM
Aturan tentang hak asasi manusia (HAM)
Demi martabat kemanusiaan
5
Keutamaan
Disposisi karakter
Karakter positif-negatif individu
Kebahagiaan duniawi dan mental (psikologis)
6
Teonom
Disposisi karakter dan tingkat keimanan
Karakter mulia dan mematuhi kitab suci agama masing-masing individu dan masyarakat
Kebahagiaan rohani (surgawi), mental, dan duniawi
Sumber :
Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Salemba Empat.
Ardiansyah, Panji. 2017 . Etika Bisnis. Yogyakarta : Quadrant
Anoraga, Pandji. 2011. Pengantar Bisnis : Pengelolaan dalam Era Globalisasi. Jakarta : Rineka Cipta.
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. ALFABETA, cv
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Sigit P, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : UPP STIM YKPN

PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS
Pengertian etika bisnis
Etika bisnis sebagai suatu usaha untuk mempraktikan alat dan konsep-konsep yang dikembangkan oleh ahli filsafat untuk memisahkan antara benar dan salah, serta hal-hal yang diinginkan dari yang tidak diinginkan oleh dunia corporate etika bisnis mengkaji bisnis dari sudut pandang etika. (Kamel Mellahi dan Geoffrey Wood, 2003:4)
Etika bisnis adalah aturan-aturan yang menegaskan suatu bisnis boleh bertindak dan tidak boleh bertindak, dimana aturan-aturan tersebut dapat bersumber dari aturan tertulis maupun aturan yang tidak tertulis. Dan jika suatu bisnis melanggar aturan-aturan tersebut maka sangsi akan diterima. Dimana sangsi tersebut dapat berbentuk langsung maupun tidak langsung. (Irham Fahmi, 2013).
Etika bisnis dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal dan secara ekonomi/sosial, dan pengetrapan norma dan moralitas ini menunjang maksud dan tujuan kegiatan bisnis. (Muslich, 2004: 9).
Etika bisnis adalah perwujudan dari serangkaian prinsip-prinsip etika normatif ke dalam perilaku bisnis. Dalam hal ini etika bisnis berperan sebagai pedoman dalam menentukan benar tidaknya suatu tindakan yang dilakukan korporasi dalam menjalankan bisnisnya. Ada beberapa alasan mendasar tentang perlunya bisnis dijalankan secara etis (Lawrence dan Weber, 2008).
Prinsip-Prinsip Etika dan Perilaku Bisnis
Menurut pendapat Michael Josephson dalam Pandji (2007:1225), secara universal, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu :
1.      Kejujuran
2.      Integritas
3.      Memelihara janji
4.      Kesetiaan
5.      Kewajaran / keadilan
6.      Suka membantu orang lain
7.      Hormat kepada orang lain
8.      Kewarganegaraan yang bertanggungjawab
9.      Mengejar keunggulan
10.  Dapat di pertanggungjawabkan
Sementara Sonny Keraf dalam Sorta (2008:18) menyebutkan bahwa secara umum ada lima prinsip etika bisnis, yaitu :
1.      Prinsip Otonomi
2.      Prisip Kejujuran
3.      Prisip Keadilan
4.      Prinsip Saling Menguntungkan, dan
5.      Prinsip Integritas Moral.
Sekilas tentang Etika Perilaku
            Pernyataan bahwa good business is ethical business merupakan hal menarik yang perlu dipertimbangkan oleh parapelaku bisnis. Perilaku pelaku bisnis sangat dipengaruhi oleh nilai moral yang dimiliki oleh masing-masing individu. Nilai moral merupakan landasan perilaku bagi seseorang, sehingga seseorang akan bertindak sesuai etika atau sangat dipengaruhi oleh nilai moral yang diyakininya. Dalam beberapa hal, etika dan moral sering dianggap memiliki kedudukan yang sejajar, dimana orang yang beretika pasti bermoral, dan sebaliknya. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar mengenai ajaran moral (Suseno, 1987).
            Etika menuntut agar seseorang melakukan ajaran moral tertentu karena ia sadar bahwa hal itu memang bermanfaat dan baik bagi dirinya dan orang lain (Keraf, 1998).
            Perilaku pelaku bisnis perlu mendapat perhatian yang cukup serius untuk menghindari praktik bisnis yang tidak beretika. Sebagai ilustrasi adalah masyarakat masih memandang bahwa bisnis adalah bisnis dimana sangat dimungkinkan untuk melakukan tindakan kurang terpuji untuk mencapai tujuan bisnis, misalnya melakukan penyuapan untuk mendapat izin usaha, melakukan praktik kecurangan dalam produksi maupun melakukan manipulasi pemasaran dengan anggapan bahwa bisnis tidak ada hubungannya dengan etika atau moralitas, dan moralitas hanya dianggap sebagai mitos dalam bisnis (George, 1999). Karena itu, etika bisnis harus menjadi dasar bagi perilaku pelaku bisnis, meskipun perlu dilakukan upaya sistematis seperti menyusun kode etik perusahaan, untuk meningkatkan kredibilitas dan menunjukan tanggung jawab sosialnya.
Etika Perilaku Produsen
            Produsen wajib mengembangkan tanggung jawab bisnis berupa penyediaan produk yang aman bagi konsumen. Kewajiban ini juga dikenal dengan istilah product liability (Bertens, 2000). Karena itu transformasi tujuan produksi berdasarkan norma perilaku sangat penting dilakukan dan menganggap bahwa maksimalisasi laba bukan merupakan satu-satunya motif maupun motif utama kegiatan produksi (Siddiqi, 1996). Motivasi dan etika perilaku produsen sebaiknya didasarkan pada tujuan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat, dengan memproduksi kebutuhan dasar masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan melakukan efisiensi produksi agar tersedia barang-barang kebutuhan utama dengan harga terjangkau.
            Secara filosofi, aktivitas produksi (Muhammad, 2013), meliputi :
1.      Produk apa yang dibuat
2.      Berapa kuantitas produk yang dibuat
3.      Mengapa produk tersebut dibuat
4.      Dimana produk tersebut dibuat
5.      Kapan produk dibuat
6.      Siapa yang membuat
7.      Bagaimana memproduksinya
Aktivitas produksi harus memiliki kejelasan terhadap ketujuh hal tersebut dan memperhatikan etika produksi sebagai pedoman dalam menjawab ketujuh aktivitas tersebut. Misalnya, tempat produksi, apakah sudah memiliki perizinan sesuai norma hukum yang mengatur, apakah proses produksi sudah sesuai dangan standar yang berlaku.
Hal lain yang tidak kalah penting bagi produsen dalam berperilaku bisnis, hendaknya melakukan pemanfaatan teknologi secara bijaksana, meemegang teguh etika sehingga mampu menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam situasi perkembangan dan pergeseran selera konsumennya. Hal ini penting agar produsen terhindar dari perilaku negatif.
Etika Perilaku Suplier
            Pembahasan SCM dianggap penting dalam membahas tentang etika perilaku pemasok karenaSCM merupakan konsep ideal penanganan bahan baku serta profesionalitas hubungan antar pemasok dan produsen. Semakin baik SCM, biasanya para pihak yang terhubung merupakan pihak yang teguh dalam memegang komitmen bisnis. Adapun komponen dari supply chain management terdiri dari (Turban, 2014)
1.      Upstream Supply Chain
Meliputi aktivitas dari suatu perusahaan manufaktur dengan penyaluran serta hubungan mereka kepada para penyalur.
2.      Internal Supply Chain
Meliputi semua proses in-house yang digunakan dalam mentransformasikan masukan dari para penyalur ke dalam keluaran organisasi itu.
3.      Downstream Supply Chain
Meliputi semua aktivitas yang melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir.
Tujuan penerapan supply chain sebagai bentuk komitmen profesionalitas dari pelaku bisnis agar bisa memenangkan persaingan adalah bisa menyediakan produk dengan kriteria murah, berkualitas, tepat waktu, dan bervariasi (Pujawan, 2005).
Tarigan (2009) menyatakan bahwa setiap penerimaan pasokan mempunyai standar etis yang wajib dipatuhi oleh para pemasok, di antaranya:
1.      Penghormatan terhadap HAM
2.      Menghindari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
3.      Mematuhi hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
4.      Mengutamakan keamanan dan keselamatan, memiliki standar auditor terhadap barang dan sumber daya
5.      Menjaga rahasia dan menghormati Hak    Kekayaan Intelektual
6.      Menjaga kualitas barang
Etika Perilaku Investor dan Pemegang Saham
            Sebagai salah satu bentuk representasi investasi etis, perusahaan yang termasuk kedalam index JIII sebenarnya tidak secara eksklusif merupakan perusahaan yang berbentuk syariah, namun memenuhi kriteria yang disyaratkan. Syarat-syarat tersebut dianggap merupakan representasi etis karena sesuai dengan teori etika religius, etika yang bersumber dari ajaran agama merupakan salah satu bentuk kebenaran mutlak karena bersumber langsung dari Tuhan.
Etika Perilaku Pemilik Perusahaan
            Salah satu unsur penting yang harus diperhatikan oleh pemilik perusahaan adalah etika terhadap karyawan. Adapun tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan (Ronald J. Ebert, 2006) :
1.      Komitmen hukum dan sosial
Perilaku tanggung jawab secara sosial terhadap para karyawan memiliki komponen hukum dan sosial.
2.      Komitmen etis
Menghargai karyawan sebagai manusia juga berarti menghargai perilaku mereka sebagai individu yang bertanggungjawab secara etis.
Etika Perilaku Karyawan
            Perilaku etis dapat menentukan karyawan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diperoleh dari luar yang kemudian menjadi prinsip yang dijalani dalam bentuk perilaku. Faktor-faktor tersebut adalah :
1.      Pengaruh budaya organisasi
Budaya organisasi merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi lain.
2.      Kondisi politik
Kondisi politik merupakan rangkaian atas atau prinsip, keadaan, jalan, cara atau alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan.
3.      Perekonomian global
Perekonomian global merupakan kajian tentang pengurusan sumber daya material individu, masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Sebagian besar perusahaan memiliki kode etik untuk mendorong para karyawan berperilaku secara etis. Namun, kode etik saja belum cukup sehingga pihak pemilik dan manajer perusahaan harus menetapkan standar etika yang tinggi agar tercipta lingkungan pengendalian yang efektif dan efisien. Pendekatan paling umum untuk membentuk komitmen manajemen puncak terhadap praktik bisnis yang etis, (Ronald J. Ebert, 2006) adalah :
1.      Menerapkan kode etik tertulis
Banyak perusahaan menuliskan kode etik tertulis yang secara formal menyatakan keinginan mereka melakukan bisnis dengan perilaku yang etis.
2.      Memberlakukan progam etika
Tanggapan etis dapat dipelajari berdasarkan pengalaman.
Sumber :
Anoraga,Panji. 2011. PENGANTAR BISNIS Pengelolaan dalam Era Globalisasi. Jakarta : Rineka
Ardiansyah, Panji. 2017. ETIKA BISNIS Bagaimana Membangun Bisnis yang Beretika. Yogyakarta : Quadrant
Drs. Danang Sunyoto, S.H., S.E.,M.M dan Wika Harisa Putri, S.E.,S.H.,M.Sc.,M.E.I. 2016. Etika Bisnis.  Yogyakarta : GAPS
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. ALFABETA, cv
MATERI 3
ETHICAL GOVERNANCE
Pengertian
            Ethical governance (Etika pemerintahan) adalah berperilaku sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan rangkaian proses, kebijakan atau aturan dari suatu perusahaan. Selain itu, ethical governance juga bisa diartikan sebagai ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam  etika pemerintahan terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya.  
            Istilah Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committe, Inggris pada tahun 1922 dalam laporannya yang bertajuk Cadbury Report  (Sukrisno Agoes, 2006). Mereka kemudian  mendefinisikan corporate governance sebagai “seperangkat peraturan yuang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”
            Istilah corporate governance selanjutnya dipopulerkan oleh Robert I. Tricker pada tahun 1984, yang memilah-milah istilah ini kedalam sub-sub bidang kegiatan berikut:
1.      Direction                     : formulating the strategic direction from the future of  the enterprise in the long term
2.      Executive action          : involvement in crucial executive decisions
3.      Supervision                   :monitoring and oversight of management performance
4.      Accountability             : recognizing responsibilities to those making legitimate demand for accountability.
Good Corporate Governance (GCG) adalah upaya perbaikan terhadap sistem, proses, dan seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi yang pada esensinya mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang, hak, dan kewajiban semua pemangku kepentingan dalam arti luas dan khususnya organ Rapat Umum Pemegang Saham(RUPS), dewan komisaris, dan dewan direksi dalam arti sempit.
Fungsi Etika Pemerintahan
Secara umum, fungsi etika pemerintahan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun, dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
2.       Sebagai acuan untuk meilai apakah keputusan dan atau tindakan pejabat pemerintahan itu baik atau buruk, terpuji atau tercela.
Faktor Penghambat Pelaksanaan Etika Pemerintahan
1.      Akibat persepsi, perilaku dan gaya manajerial berupa: penyalahgunaan wewenang, menerima sogok, takut perubahan dan inovasi, sombong menghindari kritik, nepotisme, arogan, tidal adil, otoriter.
2.      Akibat pengetahuan dan keterampilan berupa: puas diri, tidak teliti, bertindak tanpa berfikir, tidak mau berkembang/belajar, pasif, kurang inisiatif, tidak produktif.
3.      Karena tindakan melanggar hukum berupa: markup, menerima suap, tidak jujur, korupsi, penipuan, criminal, sabotase, dsb.
4.      Akibat perilaku berupa: kesewenangan, pemaksaan, konspirasi, diskriminasi, tidak sopan, kerja legalistic, dramatisasi, indisipliner, negatifisme, kepentingan sendiri, non professional, pemborosan, dsb.
5.      Akibat situasi internal berupa: tujuan dan sasaran tidak efektif dan efisien, kewajiban sebagai beban, eksploitasi, pemerasan, pengangguran terselubung, kondisi kerja yang tidak nyaman, tidak akan kinerja, miss komunikasi dan informasi.
Prinsip-prinsip GCG
            Komite Nasional kebijakan Good Corporate Governance (KNKGCG) yang dibentuk tahun 1999 berdasarkan SK Menko Ekuin Nomor KEP/31/M. EKUIN/08/1999 telah mengeluarkan pedoman GCG. Pedoman tersebut disempurnakan pada tahun 2006 oleh Komite Nasional Kebijakan Good (KNKG) pengganti KNKGCG. KNKG mengeluarkan pedoman umum GCG Indonesia yang berisi lima prinsip  dasar sebagai berikut (Arafat dan Waluyo,2008) :
1.      Transparansi
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Contohnya mengemukakan informasi target produksi yang akan dicapai dalam rencana kerja dalam tahun mendatang, pencapaian laba.
2.       Kemandirian
suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Misalnya pada perusahaan ini sedang membangun pabrik, tetapi limbahnya tidak bertentangan dengan UU lingkungan yg dapat merugikan piha lain.
3.      Akuntabilitas
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Misalnya seluruh pelaku bisnis baik individu maupun kelompok tidak boleh bekerja asal jadi, setengah-setengah atau asal cukup saja, tetapi harus selalu berupaya menyelesaikan tugas dan kewajibannya dengan hasil yang bermutu tinggi.
4.      Pertanggungjawaban
kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Contohnya dalam hal ini Komisaris, Direksi, dan jajaran manajemennya dalam menjalankan kegiatan operasi perusahaan harus sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
5.      Kewajaran (fairness)
keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya memperlakukan rekanan sebagai mitra, memberi perlakuan yang sama terhadap semua rekanan, memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan/pembeli, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan komponen-komponen atau prinsip-prinsip tersebut, menurut Mas Ahmad Daniri, Sekretaris NCGC (The National Committee on Corporate Governance) di perlukan 6 pilar yaitu :
1.      Sistem perlindungan hak pemegang saham
2.      Visi, misi, dan strategi yang jelas
3.      Kembangkan keseimbangan peran dan fungsi organ perusahaan
4.      Sistem akuntansi dan MIS (Management Information System) yang menjamin transparansi
5.      Manajemen pengendalian  risiko, kepatuhan aturan, dan sistem audit yang handal
6.      Sistem pengukuran kinerja dan pengembangan SDM
Untuk pelaksanaan GCG di Indonesia, Bursa Efek Jakarta mensyaratkan agar perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEJ harus mempunyai Komisaris Independen dan Komite Audit, dan kemudian muncul ide perlunya Direktur Independen, yang mewakili publik, atau mayoritas pemegang saham. Di luar negeri khususnya di Amerika hampir tidak ada pemegang saham pengendali, sebaliknya kondisi di Indonesia agak lain, banyak perusahaan yang masih memiliknya karena perusahaan-perusahaan tersebut bermula  dari perusahaan keluarga yang kemudian go public, kiranya hanya 30% yang dilepas (Daniri, 2002: 30-31). Mekanisme tat kelola perusahaan yang baik (GCG) dimulai dari manajemen yang menyiapkan lapooran keuangan dan disampaikan pada auditor yang mengaudit laporan keuangan tersebut. (Larry, 2001)
Auditor kemudian memberikan jaminan profesional pada Board of Directors (yang dipilih pemegang saham) dan komite audit. Juga kepada pihak lainnya, seperti kreditor, pemasok, dan lembaga pemerintah.
Permasalahan yang timbul dalam penerapan GCG
1.      Pemahaman tentang konsep GCG pada beberapa manajer di Indonesia masih kurang. Sering mereka memahami konsep GCG secara general dan tidak spesifik, terutama berdasarkan bentuk organisasi bisnis yang dijalankan.
2.      Sebagian pihak menganggap konsep GCG dianggap sebagai penghambat berbagai keputusan perusahaan, karena perusahaan tidak lagi bisa leluasa dalam mengambil keputusan khususnya harus patuh pada aturan GCG.
3.      Aparat penegak hukum harus dibekali konsep pemahaman GCG secara luas termasuk adanya jurnal dan buku teks yang menjelaskan secara khusus tentang GCG dalam konteks perspektif Indonesia.
4.      Menurut Herwidayatmo (2000), praktik-praktik di Indonesia yang bertentangan dengan konsep GCG dapat dikelompokan menjadi :
a.       Adanya konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan.
b.      Tidak efektifnya dewan komisaris.
c.       Lemahnya law enforcement.
Sumber :
Sumber :
Ardiansyah, Panji. 2017. ETIKA BISNIS Bagaimana Membangun Bisnis yang Beretika. Yogyakarta : Quadrant
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. ALFABETA, cv
Sigit P, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern. Edisi Pertama. Cetakan Pertama.
MATERI 4
PERILAKU ETIKA DALAM  PROFESI AKUNTANSI
Perilaku Etika dalam Profesi Akuntansi
            Profesi adalah kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan  ketrampilan  dan  keahlian  tinggi  guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, yang hanya dapat  dicapai  melalui  penguasaan  pengetahuan  yang  berhubungan  dengan  sifat  manusia , kecenderungan  sejarah  dan  lingkungan  hidupnya,  serta diikat  dengan   suatu  disiplin  etika  yang dikembangkan  dan  diterapkan  oleh  para  pelaku  profesi  tersebut.
Syarat menjadi  seorang  profesi
1.      Telah melaksanakan  pelatihan  ekstensif  sebelum  memasuki  profesi.
2.      Terampil dan terlatih.
3.      Memiliki  komponen  ientelektual  yang  signifikan.
4.      Bersertifikasi  atau  berlisensi.
5.      Terikat dalam suatu  organisasi.
Prinsip Etika Profesi Akuntansi Indonesia
Prinsip pertama – tanggungjawab profesi
Dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilaksanakannya.
1.      Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.
Prinsip kedua – kepentingan publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertidak dalam kerangga pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme.
1.      Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggungjawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor , dunia bisnis, dan keuangan dan pihak lainnya bergantung kepadda objektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggungjawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang melayani anggota keseluruhan. Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
2.      Profesi akuntan dapat tetap berada pada posisi yang penting ini hanya dengan terus menerus memberikan jasa yang unik ini pada tingkat yang menunjukan bahwa kepercayaam masyarakat dipegang teguh.
3.      Dalam memahami tanggungjawab profesionalismenya, anggota mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan dengan pihak berkepentingan.
4.      Mereka yang memperoleh pelayanan dari anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas, objektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik.
5.      Asemua anggota mengikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik.
6.      Tanggung jawab seorang akuntan tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja.
Prinsip ketiga-integritas
Untuk memelihaer dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggungjawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
1.      Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional.
2.      Integritas mengharuskan seorang anggota antara lain untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa.
3.      Integritas diukur dalam bentuk yang benar dan adil.
4.      Integritas juga mengharuskan anggota untuk memilik prinsip objektivitas dan kehati-hatian profesional.
Prinsip keempat - objektivitas
Setiap anggota harus menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan kewajiban profesionalnya.
1.      Objektivitas adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota.
2.      Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukan objektivitas mereka dalam berbagai situasi.
3.      Dalam menghadapi situasi dan praktek secara spesifik berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan objektivitas, pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktorberikut :
a.       Adakalanya anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka menerima tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya.
b.      Adalah tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi dimana tekanan-tekanan ini mungkin terjadi.
c.       Hubungan-hubungan yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar opbjektivitas harus dihindari.
d.      Anggota memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terlibat dalam pemberian jasa profesional mematuhi prinsip objektivitas.
e.       Anggota tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entetaiment.
Prinsip kelima-kompetensi dan kehati-hatian profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
1.      Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi ketekunan.
2.      Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman.
3.      Kompetensi menunjukan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seseorang anggota untuk memberikan jasa dan kemudahan dan kecerdikan.
4.      Anggota harus tekun dalam memenuhi tanggung jawabnya kepada penerima jasa dan publik.
5.      Kehati-hatian profesional mengharuskan anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan profesional yang menjadi tanggung jawabnya.
Prinsip keenam-kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
1.      Anggota mempunyai kewajiban untuk menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi jasa yang diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya
2.      Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal atau profesional untuk mengungkapkan informasi.
3.      Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa staf dibawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta nasehat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
4.      Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah pengungkapan informasi.
5.      Anggota yang mempunyai akses terhadap informasi rahasia tentang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik.
6.      Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan bahwa terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai keadaan dimana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dapat atau perlu diungkapkan.
Prinsip ketujuh-perilaku profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan memenuhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
1.      Kewajiban untuk memenuhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja, dan masyarakat umum.
Prinsip kedelapan – standar teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan teknis berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas.
Sumber :
Ardiansyah, Panji. 2017. ETIKA BISNIS Bagaimana Membangun Bisnis yang Beretika. Yogyakarta : Quadrant
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. ALFABETA, cv
Sigit P, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern. Edisi Pertama. Cetakan Pertama.

No comments:

Post a Comment