MATERI 1
PENDAHULUAN
ETIKA
SEBAGAI TINJAUAN
1.1 Pengertian
Etika
Etika berasal
dari kata Yunani yaitu ethos yang
berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap, cara berpikir. Bentuk jamaknya adalag ta etha, yang berarti adat istiadat.dalam hal ini etika sama
pengertiannya dengan moral.
Etika
didefinisikan sebagai prinsip-prinsip tentang tingkah laku yang benar atau yang
baik. Etika juga berati sistem prinsip atau nilai-nilai moral, sedangkan ethics ialah ketentuan ketentuan atau
ukuran yang mengatur tingkah laku para anggota suatu profesi, (Madjid,
1998:14).
Menurut
Suhardana (2006) dalam Sukirno Agus dan I Cekik Ardana (2009: 127-128) istilah
lain dari etika adalah susila, suartinya baik, sila artinya kebiasaan atau
tingkah laku perbuatan manusia yang baik.
Menurut Lawrence,
Weber dan Post (2005) dalam Sukirno Agus dan I Cekik Ardana (2009: 127-128)
etika adalah suatu konsepsi tentang perilaku benar dan salah. Etika menjelaskan
kepada kita apakah perilaku kita bermoral atau tidak berkaitan dengan hubungan
kemanusiaan yang fundamental, bagaimana kita berpikir dan bertindak kepada
orang lain dan bagaimana kita inginkan mereka berpikir dan bertindak terhadap
kita.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
etika berarti “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak
dan kewajiban (moral)”.
1.2 Tujuan
Etika
Tujuan adalah sesuatu
yang dikehendaki, baik individu maupun kelompok. Tujuan etiks yang dimaksud
merupakan tujuan mewujudkan kebahagiaan. Tujuan utama etika yaitu menemukan,
menentukan, membatasi, dan membenarkan kewajiban, hak, cita-cita moral dari
individu dan masyarakatnya, baik masyarakat pada umumnya, khususnya masyarakat
profesi.
Etika sebagai
suatu ilmu, merupakan salah satu cabangdari filsafat. Sifat praktis, normative
dan fungsional, sehingga dengan demikian merupakan suatu ilmu yang langsung
berguna dalam pergaulan hidup sehari-hari. Etika juga dapat menjadi asa dan
menjiwai norma-norma dalam kehidupan, di samping sekaligus memberika penilaian
teerhadap corak perbuatan seseorang sebagai manusia.
1.3 Fungsi
Etika
I Gede A.B.
Wiranata dalam bukunya menuliskan beberapa pendapat para ahli tentang fungsi
etika, diantaranya adalah Rohaniawan Frenz Magnis-Suseno, ia menyatakan bahwa
etika berfungsi untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam
kehidupan dengan moralitas yang membingungkan.
1.4 Macam-macam
Etika
a. Etika
deskriptif
Etika
deskriptif ialah di mana objek yang dinilai adalah sikap dan perilaku manusia
dalam mengejar tujuan hidupnya sebagaimana adanya, ini tercermin pada situasi
dan kondisi yang telah membupotensi di masyarakat secara turun temurun.
Sedangkan menurut Burhanuddin Salam, etika deskriptif adalah etika yang
berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan pola perilaku manusia
dan apa yang dikerjakan oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang
bernilai.
b. Etika
normatif
Etika
normatif yaitu sikap dan perilaku manusi atau masyarakat sesuai dengan norma
dan moralitas yang ideal. Etika ini secara umum dinilai memenuhi tuntutandan
perkembangan dinamika serta kondisi masyarakat. Ada tuntutan yang menjadi acuan
bagi umum atau semua pihak dalam menjalankan perikehidupan. Etika normatif ini
adalah etika yang mengacu pada norma-norma atau standar moral yang diharapkan
untuk mempengaruhi perilaku, kebijakan, keputusan, karakter individu, dan
struktur social.
c. Etika
analitis yaitu memberikan penilaian tentang baik-buruk, tanggung jawab moral
dan argumentasi moral (moral reasoning).
1.5 Teori-teori
Etika
Secara umum, teori etika berkembang
atas dasar paradigm kehidupan manusiayang tidak utuh sesuai penalaran-penalaran
rasional yang terbatas kepada makna dan tujuan hidup manusia. Tabel berikut
meringkas keterkaitan antarteori etika yang apabila dipadukan berubah menjadi
teori tunggal berdasarkan paradigm hakikat manusia secara utuh.
Tabel Teori
Etika, Paradigma Hakikat Manusia, dan Kecerdasan
No
|
Teori
|
Logika
|
Kriteria Etika
|
Tujuan
Hidup
|
1
|
Egoisme
|
Tujuan dari tindakan
|
Memenuhi kepentingan pribadi
|
Kenikmatan duniawi secara individu
|
2
|
Utilitarianisme
|
Tujuan dari tindakan
|
Memberi manfaat/kegunaan bagi
banyak orang
|
Kesejahteraan duniawi masyarakat
|
3
|
Deontologi (Imannuel Kant)
|
Tindakan itu sendiri
|
Kewajiban mutlak setiap orang
|
Demi kewajiban itu sendiri
|
4
|
Hak Asasi
|
Tingkat kepatuhan terhadap HAM
|
Aturan tentang hak asasi manusia
(HAM)
|
Demi martabat kemanusiaan
|
5
|
Keutamaan
|
Disposisi karakter
|
Karakter positif-negatif individu
|
Kebahagiaan duniawi dan mental
(psikologis)
|
6
|
Teonom
|
Disposisi karakter dan tingkat
keimanan
|
Karakter mulia dan mematuhi kitab
suci agama masing-masing individu dan masyarakat
|
Kebahagiaan rohani (surgawi),
mental, dan duniawi
|
Sumber :
Agoes, Sukrisno
dan I Cenik Ardana. 2009. Etika Bisnis
dan Profesi. Jakarta: Salemba Empat.
Ardiansyah,
Panji. 2017 . Etika Bisnis. Yogyakarta
: Quadrant
Anoraga,
Pandji. 2011. Pengantar Bisnis :
Pengelolaan dalam Era Globalisasi. Jakarta : Rineka Cipta.
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. ALFABETA, cv
Kamus Besar
Bahasa Indonesia
Sigit
P, Tri Hendro. 2012. Etika Bisnis Modern.
Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Yogyakarta : UPP STIM YKPN
PERILAKU ETIKA DALAM BISNIS
Pengertian
etika bisnis
Etika
bisnis sebagai suatu usaha untuk mempraktikan alat dan konsep-konsep yang
dikembangkan oleh ahli filsafat untuk memisahkan antara benar dan salah, serta
hal-hal yang diinginkan dari yang tidak diinginkan oleh dunia corporate etika bisnis mengkaji bisnis
dari sudut pandang etika. (Kamel Mellahi
dan Geoffrey Wood, 2003:4)
Etika
bisnis adalah aturan-aturan yang menegaskan suatu bisnis boleh bertindak dan
tidak boleh bertindak, dimana aturan-aturan tersebut dapat bersumber dari
aturan tertulis maupun aturan yang tidak tertulis. Dan jika suatu bisnis
melanggar aturan-aturan tersebut maka sangsi akan diterima. Dimana sangsi
tersebut dapat berbentuk langsung maupun tidak langsung. (Irham Fahmi, 2013).
Etika bisnis dapat diartikan sebagai
pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan dan pengelolaan bisnis yang
memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal dan secara
ekonomi/sosial, dan pengetrapan norma dan moralitas ini menunjang maksud dan
tujuan kegiatan bisnis. (Muslich, 2004:
9).
Etika bisnis adalah
perwujudan dari serangkaian prinsip-prinsip etika normatif ke dalam perilaku
bisnis. Dalam hal ini etika bisnis berperan sebagai pedoman dalam menentukan
benar tidaknya suatu tindakan yang dilakukan korporasi dalam menjalankan
bisnisnya. Ada beberapa alasan mendasar tentang perlunya bisnis dijalankan
secara etis (Lawrence dan Weber, 2008).
Prinsip-Prinsip
Etika dan Perilaku Bisnis
Menurut pendapat Michael Josephson dalam
Pandji (2007:1225), secara universal, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan
perilaku, yaitu :
1.
Kejujuran
2.
Integritas
3.
Memelihara janji
4.
Kesetiaan
5.
Kewajaran / keadilan
6.
Suka membantu orang lain
7.
Hormat kepada orang lain
8.
Kewarganegaraan yang bertanggungjawab
9.
Mengejar keunggulan
10.
Dapat di pertanggungjawabkan
Sementara
Sonny Keraf dalam Sorta (2008:18) menyebutkan bahwa secara umum ada lima prinsip
etika bisnis, yaitu :
1.
Prinsip Otonomi
2.
Prisip Kejujuran
3.
Prisip Keadilan
4.
Prinsip Saling Menguntungkan, dan
5.
Prinsip Integritas Moral.
Sekilas
tentang Etika Perilaku
Pernyataan
bahwa good business is ethical business merupakan
hal menarik yang perlu dipertimbangkan oleh parapelaku bisnis. Perilaku pelaku
bisnis sangat dipengaruhi oleh nilai moral yang dimiliki oleh masing-masing
individu. Nilai moral merupakan landasan perilaku bagi seseorang, sehingga
seseorang akan bertindak sesuai etika atau sangat dipengaruhi oleh nilai moral
yang diyakininya. Dalam beberapa hal, etika dan moral sering dianggap memiliki
kedudukan yang sejajar, dimana orang yang beretika pasti bermoral, dan
sebaliknya. Etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar mengenai ajaran moral
(Suseno, 1987).
Etika
menuntut agar seseorang melakukan ajaran moral tertentu karena ia sadar bahwa
hal itu memang bermanfaat dan baik bagi dirinya dan orang lain (Keraf, 1998).
Perilaku
pelaku bisnis perlu mendapat perhatian yang cukup serius untuk menghindari
praktik bisnis yang tidak beretika. Sebagai ilustrasi adalah masyarakat masih
memandang bahwa bisnis adalah bisnis dimana sangat dimungkinkan untuk melakukan
tindakan kurang terpuji untuk mencapai tujuan bisnis, misalnya melakukan
penyuapan untuk mendapat izin usaha, melakukan praktik kecurangan dalam
produksi maupun melakukan manipulasi pemasaran dengan anggapan bahwa bisnis
tidak ada hubungannya dengan etika atau moralitas, dan moralitas hanya dianggap
sebagai mitos dalam bisnis (George,
1999). Karena itu, etika bisnis harus menjadi dasar bagi perilaku pelaku
bisnis, meskipun perlu dilakukan upaya sistematis seperti menyusun kode etik
perusahaan, untuk meningkatkan kredibilitas dan menunjukan tanggung jawab
sosialnya.
Etika
Perilaku Produsen
Produsen
wajib mengembangkan tanggung jawab bisnis berupa penyediaan produk yang aman
bagi konsumen. Kewajiban ini juga dikenal dengan istilah product liability (Bertens, 2000). Karena itu transformasi tujuan
produksi berdasarkan norma perilaku sangat penting dilakukan dan menganggap
bahwa maksimalisasi laba bukan merupakan satu-satunya motif maupun motif utama
kegiatan produksi (Siddiqi, 1996). Motivasi dan etika perilaku produsen
sebaiknya didasarkan pada tujuan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat, dengan
memproduksi kebutuhan dasar masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan
melakukan efisiensi produksi agar tersedia barang-barang kebutuhan utama dengan
harga terjangkau.
Secara
filosofi, aktivitas produksi (Muhammad, 2013), meliputi :
1. Produk apa
yang dibuat
2. Berapa kuantitas
produk yang dibuat
3. Mengapa produk
tersebut dibuat
4. Dimana produk
tersebut dibuat
5. Kapan produk
dibuat
6. Siapa yang
membuat
7. Bagaimana memproduksinya
Aktivitas produksi harus memiliki kejelasan terhadap ketujuh hal tersebut
dan memperhatikan etika produksi sebagai pedoman dalam menjawab ketujuh
aktivitas tersebut. Misalnya, tempat produksi, apakah sudah memiliki perizinan
sesuai norma hukum yang mengatur, apakah proses produksi sudah sesuai dangan
standar yang berlaku.
Hal lain yang tidak kalah penting bagi produsen dalam berperilaku bisnis,
hendaknya melakukan pemanfaatan teknologi secara bijaksana, meemegang teguh
etika sehingga mampu menyediakan barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat
dalam situasi perkembangan dan pergeseran selera konsumennya. Hal ini penting
agar produsen terhindar dari perilaku negatif.
Etika Perilaku
Suplier
Pembahasan
SCM dianggap penting dalam membahas tentang etika perilaku pemasok karenaSCM
merupakan konsep ideal penanganan bahan baku serta profesionalitas hubungan
antar pemasok dan produsen. Semakin baik SCM, biasanya para pihak yang
terhubung merupakan pihak yang teguh dalam memegang komitmen bisnis. Adapun komponen
dari supply chain management terdiri
dari (Turban, 2014)
1. Upstream Supply Chain
Meliputi aktivitas
dari suatu perusahaan manufaktur dengan penyaluran serta hubungan mereka kepada
para penyalur.
2. Internal Supply Chain
Meliputi semua
proses in-house yang digunakan dalam
mentransformasikan masukan dari para penyalur ke dalam keluaran organisasi itu.
3. Downstream Supply Chain
Meliputi semua
aktivitas yang melibatkan pengiriman produk kepada pelanggan akhir.
Tujuan penerapan
supply chain sebagai bentuk komitmen
profesionalitas dari pelaku bisnis agar bisa memenangkan persaingan adalah bisa
menyediakan produk dengan kriteria murah, berkualitas, tepat waktu, dan
bervariasi (Pujawan, 2005).
Tarigan
(2009) menyatakan bahwa setiap penerimaan pasokan mempunyai standar etis yang
wajib dipatuhi oleh para pemasok, di antaranya:
1.
Penghormatan terhadap HAM
2.
Menghindari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
3.
Mematuhi hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
4.
Mengutamakan keamanan dan keselamatan, memiliki
standar auditor terhadap barang dan sumber daya
5.
Menjaga rahasia dan menghormati Hak Kekayaan Intelektual
6.
Menjaga kualitas barang
Etika Perilaku
Investor dan Pemegang Saham
Sebagai salah satu bentuk
representasi investasi etis, perusahaan yang termasuk kedalam index JIII
sebenarnya tidak secara eksklusif merupakan perusahaan yang berbentuk syariah,
namun memenuhi kriteria yang disyaratkan. Syarat-syarat tersebut dianggap merupakan
representasi etis karena sesuai dengan teori etika religius, etika yang
bersumber dari ajaran agama merupakan salah satu bentuk kebenaran mutlak karena
bersumber langsung dari Tuhan.
Etika Perilaku
Pemilik Perusahaan
Salah
satu unsur penting yang harus diperhatikan oleh pemilik perusahaan adalah etika
terhadap karyawan. Adapun tanggung jawab perusahaan terhadap karyawan (Ronald
J. Ebert, 2006) :
1. Komitmen hukum
dan sosial
Perilaku tanggung
jawab secara sosial terhadap para karyawan memiliki komponen hukum dan sosial.
2. Komitmen etis
Menghargai karyawan sebagai manusia
juga berarti menghargai perilaku mereka sebagai individu yang bertanggungjawab
secara etis.
Etika Perilaku
Karyawan
Perilaku etis dapat menentukan
karyawan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang diperoleh dari luar yang
kemudian menjadi prinsip yang dijalani dalam bentuk perilaku. Faktor-faktor
tersebut adalah :
1. Pengaruh budaya
organisasi
Budaya organisasi
merupakan sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu dari organisasi lain.
2. Kondisi politik
Kondisi politik
merupakan rangkaian atas atau prinsip, keadaan, jalan, cara atau alat yang akan
digunakan untuk mencapai tujuan.
3. Perekonomian
global
Perekonomian
global merupakan kajian tentang pengurusan sumber daya material individu,
masyarakat, dan negara untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Sebagian besar
perusahaan memiliki kode etik untuk mendorong para karyawan berperilaku secara
etis. Namun, kode etik saja belum cukup sehingga pihak pemilik dan manajer
perusahaan harus menetapkan standar etika yang tinggi agar tercipta lingkungan
pengendalian yang efektif dan efisien. Pendekatan paling umum untuk membentuk
komitmen manajemen puncak terhadap praktik bisnis yang etis, (Ronald J. Ebert,
2006) adalah :
1.
Menerapkan kode etik tertulis
Banyak perusahaan menuliskan kode etik tertulis yang
secara formal menyatakan keinginan mereka melakukan bisnis dengan perilaku yang
etis.
2.
Memberlakukan progam etika
Tanggapan etis dapat dipelajari berdasarkan
pengalaman.
Sumber :
Anoraga,Panji. 2011. PENGANTAR BISNIS
Pengelolaan dalam Era Globalisasi. Jakarta : Rineka
Ardiansyah, Panji. 2017. ETIKA BISNIS
Bagaimana Membangun Bisnis yang Beretika. Yogyakarta : Quadrant
Drs. Danang Sunyoto, S.H., S.E.,M.M dan Wika Harisa Putri,
S.E.,S.H.,M.Sc.,M.E.I. 2016. Etika
Bisnis. Yogyakarta : GAPS
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan Kedua. ALFABETA, cv
MATERI 3
ETHICAL GOVERNANCE
ETHICAL GOVERNANCE
Pengertian
Ethical
governance (Etika pemerintahan)
adalah berperilaku sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan
rangkaian proses, kebijakan atau aturan dari suatu perusahaan. Selain itu, ethical governance juga bisa diartikan
sebagai ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai dengan nilai-nilai
keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam etika pemerintahan terdapat juga masalah
kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat, aparatur, struktur dan lembaganya.
Istilah Corporate Governance pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committe, Inggris pada tahun
1922 dalam laporannya yang bertajuk Cadbury
Report (Sukrisno Agoes, 2006).
Mereka kemudian mendefinisikan corporate governance sebagai
“seperangkat peraturan yuang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus
(pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para
pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan
hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.”
Istilah corporate governance selanjutnya dipopulerkan oleh Robert I.
Tricker pada tahun 1984, yang memilah-milah istilah ini kedalam sub-sub bidang
kegiatan berikut:
1. Direction : formulating
the strategic direction from the future of
the enterprise in the long term
2. Executive action :
involvement in crucial executive
decisions
3. Supervision :monitoring and oversight of management
performance
4. Accountability :
recognizing responsibilities to those
making legitimate demand for accountability.
Good Corporate Governance (GCG) adalah upaya perbaikan terhadap sistem,
proses, dan seperangkat peraturan dalam pengelolaan suatu organisasi yang pada
esensinya mengatur dan memperjelas hubungan, wewenang, hak, dan kewajiban semua
pemangku kepentingan dalam arti luas dan khususnya organ Rapat Umum Pemegang
Saham(RUPS), dewan komisaris, dan dewan direksi dalam arti sempit.
Fungsi Etika
Pemerintahan
Secara umum,
fungsi etika pemerintahan dalam penyelenggaraan praktik pemerintahan dibagi
menjadi 2, yaitu:
1. Sebagai suatu pedoman, referensi, acuan, penuntun, dalam pelaksanaan
tugas-tugas pemerintahan.
2. Sebagai acuan untuk meilai
apakah keputusan dan atau tindakan pejabat pemerintahan itu baik atau buruk,
terpuji atau tercela.
Faktor Penghambat Pelaksanaan Etika Pemerintahan
1.
Akibat persepsi, perilaku dan gaya manajerial berupa:
penyalahgunaan wewenang, menerima sogok, takut perubahan dan inovasi, sombong
menghindari kritik, nepotisme, arogan, tidal adil, otoriter.
2.
Akibat pengetahuan dan keterampilan berupa: puas diri,
tidak teliti, bertindak tanpa berfikir, tidak mau berkembang/belajar, pasif,
kurang inisiatif, tidak produktif.
3.
Karena tindakan melanggar hukum berupa: markup,
menerima suap, tidak jujur, korupsi, penipuan, criminal, sabotase, dsb.
4.
Akibat perilaku berupa: kesewenangan, pemaksaan,
konspirasi, diskriminasi, tidak sopan, kerja legalistic, dramatisasi,
indisipliner, negatifisme, kepentingan sendiri, non professional, pemborosan,
dsb.
5.
Akibat situasi internal berupa: tujuan dan sasaran
tidak efektif dan efisien, kewajiban sebagai beban, eksploitasi, pemerasan,
pengangguran terselubung, kondisi kerja yang tidak nyaman, tidak akan kinerja,
miss komunikasi dan informasi.
Prinsip-prinsip GCG
Komite Nasional kebijakan Good Corporate Governance (KNKGCG) yang
dibentuk tahun 1999 berdasarkan SK Menko Ekuin Nomor KEP/31/M. EKUIN/08/1999
telah mengeluarkan pedoman GCG. Pedoman tersebut disempurnakan pada tahun 2006
oleh Komite Nasional Kebijakan Good (KNKG)
pengganti KNKGCG. KNKG mengeluarkan pedoman umum GCG Indonesia yang berisi lima
prinsip dasar sebagai berikut (Arafat
dan Waluyo,2008) :
1. Transparansi
keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi
materiil dan relevan mengenai perusahaan. Contohnya mengemukakan informasi
target produksi yang akan dicapai dalam rencana kerja dalam tahun mendatang,
pencapaian laba.
2. Kemandirian
suatu keadaan di mana perusahaan
dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/ tekanan
dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Misalnya pada perusahaan ini
sedang membangun pabrik, tetapi limbahnya tidak bertentangan dengan UU
lingkungan yg dapat merugikan piha lain.
3. Akuntabilitas
kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara
efektif. Misalnya seluruh pelaku bisnis baik individu maupun kelompok tidak
boleh bekerja asal jadi, setengah-setengah atau asal cukup saja, tetapi harus
selalu berupaya menyelesaikan tugas dan kewajibannya dengan hasil yang bermutu
tinggi.
4. Pertanggungjawaban
kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Contohnya dalam hal ini Komisaris,
Direksi, dan jajaran manajemennya dalam menjalankan kegiatan operasi perusahaan
harus sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
5. Kewajaran (fairness)
keadilan dan kesetaraan di dalam
memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Misalnya memperlakukan rekanan sebagai mitra,
memberi perlakuan yang sama terhadap semua rekanan, memberikan pelayanan yang
terbaik bagi pelanggan/pembeli, dan sebagainya.
Untuk mewujudkan komponen-komponen
atau prinsip-prinsip tersebut, menurut Mas Ahmad Daniri, Sekretaris NCGC (The National Committee on Corporate
Governance) di perlukan 6 pilar yaitu :
1. Sistem perlindungan hak pemegang
saham
2. Visi, misi, dan strategi yang jelas
3. Kembangkan keseimbangan peran dan
fungsi organ perusahaan
4. Sistem akuntansi dan MIS (Management Information System) yang
menjamin transparansi
5. Manajemen pengendalian risiko, kepatuhan aturan, dan sistem audit
yang handal
6. Sistem pengukuran kinerja dan
pengembangan SDM
Untuk
pelaksanaan GCG di Indonesia, Bursa Efek Jakarta mensyaratkan agar
perusahaan-perusahaan yang tercatat di BEJ harus mempunyai Komisaris Independen
dan Komite Audit, dan kemudian muncul ide perlunya Direktur Independen, yang
mewakili publik, atau mayoritas pemegang saham. Di luar negeri khususnya di
Amerika hampir tidak ada pemegang saham pengendali, sebaliknya kondisi di
Indonesia agak lain, banyak perusahaan yang masih memiliknya karena
perusahaan-perusahaan tersebut bermula
dari perusahaan keluarga yang kemudian go public, kiranya hanya 30% yang dilepas (Daniri, 2002: 30-31).
Mekanisme tat kelola perusahaan yang baik (GCG) dimulai dari manajemen yang
menyiapkan lapooran keuangan dan disampaikan pada auditor yang mengaudit
laporan keuangan tersebut. (Larry, 2001)
Auditor
kemudian memberikan jaminan profesional pada Board of Directors (yang dipilih pemegang saham) dan komite audit.
Juga kepada pihak lainnya, seperti kreditor, pemasok, dan lembaga pemerintah.
Permasalahan yang timbul dalam penerapan GCG
1. Pemahaman tentang konsep GCG pada
beberapa manajer di Indonesia masih kurang. Sering mereka memahami konsep GCG
secara general dan tidak spesifik, terutama berdasarkan bentuk organisasi
bisnis yang dijalankan.
2. Sebagian pihak menganggap konsep GCG
dianggap sebagai penghambat berbagai keputusan perusahaan, karena perusahaan
tidak lagi bisa leluasa dalam mengambil keputusan khususnya harus patuh pada
aturan GCG.
3. Aparat penegak hukum harus dibekali
konsep pemahaman GCG secara luas termasuk adanya jurnal dan buku teks yang
menjelaskan secara khusus tentang GCG dalam konteks perspektif Indonesia.
4. Menurut Herwidayatmo (2000),
praktik-praktik di Indonesia yang bertentangan dengan konsep GCG dapat
dikelompokan menjadi :
a. Adanya konsentrasi kepemilikan oleh
pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik,
pengawas, dan direktur perusahaan.
b. Tidak efektifnya dewan komisaris.
c. Lemahnya law enforcement.
Sumber :
Sumber :
Ardiansyah, Panji. 2017. ETIKA BISNIS
Bagaimana Membangun Bisnis yang Beretika. Yogyakarta : Quadrant
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan
Kedua. ALFABETA, cv
Sigit P, Tri Hendro.
2012. Etika Bisnis Modern. Edisi
Pertama. Cetakan Pertama.
MATERI 4
PERILAKU ETIKA DALAM PROFESI AKUNTANSI
PERILAKU ETIKA DALAM PROFESI AKUNTANSI
Perilaku
Etika dalam Profesi Akuntansi
Profesi adalah
kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan
dan keahlian tinggi
guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, yang hanya dapat dicapai
melalui penguasaan pengetahuan
yang berhubungan dengan
sifat manusia ,
kecenderungan sejarah dan
lingkungan hidupnya, serta diikat
dengan suatu disiplin
etika yang dikembangkan dan
diterapkan oleh para
pelaku profesi tersebut.
Syarat
menjadi seorang profesi
1.
Telah melaksanakan pelatihan
ekstensif sebelum memasuki
profesi.
2.
Terampil dan terlatih.
3.
Memiliki
komponen ientelektual yang
signifikan.
4.
Bersertifikasi atau
berlisensi.
5.
Terikat dalam suatu organisasi.
Prinsip
Etika Profesi Akuntansi Indonesia
Prinsip
pertama – tanggungjawab profesi
Dalam melaksanakan
tanggungjawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang
dilaksanakannya.
1.
Sebagai profesional, anggota mempunyai
peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut, anggota
mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota
harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk
mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat, dan
menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri. Usaha
kolektif semua anggota diperlukan untuk memelihara dan meningkatkan tradisi
profesi.
Prinsip
kedua – kepentingan publik
Setiap anggota
berkewajiban untuk senantiasa bertidak dalam kerangga pelayanan kepada publik,
menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme.
1.
Satu ciri utama dari suatu profesi
adalah penerimaan tanggungjawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peranan
yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri
dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor ,
dunia bisnis, dan keuangan dan pihak lainnya bergantung kepadda objektivitas
dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara
tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggungjawab akuntan terhadap
kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan
masyarakat dan institusi yang melayani anggota keseluruhan. Ketergantungan ini
menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan jasanya
mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
2.
Profesi akuntan dapat tetap berada pada
posisi yang penting ini hanya dengan terus menerus memberikan jasa yang unik
ini pada tingkat yang menunjukan bahwa kepercayaam masyarakat dipegang teguh.
3.
Dalam memahami tanggungjawab
profesionalismenya, anggota mungkin menghadapi tekanan yang saling berbenturan
dengan pihak berkepentingan.
4.
Mereka yang memperoleh pelayanan dari
anggota mengharapkan anggota untuk memenuhi tanggungjawabnya dengan integritas,
objektivitas, keseksamaan profesional, dan kepentingan untuk melayani publik.
5.
Asemua anggota mengikat dirinya untuk
menghormati kepercayaan publik.
6.
Tanggung jawab seorang akuntan tidak semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan klien individual atau pemberi kerja.
Prinsip
ketiga-integritas
Untuk memelihaer dan
meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggungjawab
profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
1.
Integritas adalah suatu elemen karakter
yang mendasari timbulnya pengakuan profesional.
2.
Integritas mengharuskan seorang anggota
antara lain untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan
rahasia penerima jasa.
3.
Integritas diukur dalam bentuk yang
benar dan adil.
4.
Integritas juga mengharuskan anggota
untuk memilik prinsip objektivitas dan kehati-hatian profesional.
Prinsip
keempat - objektivitas
Setiap anggota harus
menjaga objektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan
kebutuhan kewajiban profesionalnya.
1.
Objektivitas adalah suatu kualitas yang
memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota.
2.
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas
yang berbeda dan harus menunjukan objektivitas mereka dalam berbagai situasi.
3.
Dalam menghadapi situasi dan praktek
secara spesifik berhubungan dengan aturan etika sehubungan dengan objektivitas,
pertimbangan yang cukup harus diberikan terhadap faktor-faktorberikut :
a. Adakalanya
anggota dihadapkan kepada situasi yang memungkinkan mereka menerima
tekanan-tekanan yang diberikan kepadanya.
b. Adalah
tidak praktis untuk menyatakan dan menggambarkan semua situasi dimana
tekanan-tekanan ini mungkin terjadi.
c. Hubungan-hubungan
yang memungkinkan prasangka, bias atau pengaruh lainnya untuk melanggar
opbjektivitas harus dihindari.
d. Anggota
memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa orang-orang yang terlibat dalam
pemberian jasa profesional mematuhi prinsip objektivitas.
e. Anggota
tidak boleh menerima atau menawarkan hadiah atau entetaiment.
Prinsip
kelima-kompetensi dan kehati-hatian profesional
Setiap anggota harus
melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan
ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan
ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa
klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten
berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
1.
Kehati-hatian profesional mengharuskan
anggota untuk memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan kompetensi
ketekunan.
2.
Kompetensi diperoleh melalui pendidikan
dan pengalaman.
3.
Kompetensi menunjukan terdapatnya pencapaian
dan pemeliharaan suatu tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan
seseorang anggota untuk memberikan jasa dan kemudahan dan kecerdikan.
4.
Anggota harus tekun dalam memenuhi
tanggung jawabnya kepada penerima jasa dan publik.
5.
Kehati-hatian profesional mengharuskan
anggota untuk merencanakan dan mengawasi secara seksama setiap kegiatan
profesional yang menjadi tanggung jawabnya.
Prinsip
keenam-kerahasiaan
Setiap anggota harus,
menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa
profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa
persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk
mengungkapkannya.
1.
Anggota mempunyai kewajiban untuk
menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi jasa yang
diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya
2.
Kerahasiaan harus dijaga oleh anggota
kecuali jika persetujuan khusus telah diberikan atau terdapat kewajiban legal
atau profesional untuk mengungkapkan informasi.
3.
Anggota mempunyai kewajiban untuk
memastikan bahwa staf dibawah pengawasannya dan orang-orang yang diminta
nasehat dan bantuannya menghormati prinsip kerahasiaan.
4.
Kerahasiaan tidaklah semata-mata masalah
pengungkapan informasi.
5.
Anggota yang mempunyai akses terhadap
informasi rahasia tentang penerima jasa tidak boleh mengungkapkannya ke publik.
6.
Kepentingan umum dan profesi menuntut
bahwa standar profesi yang berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan dan
bahwa terdapat panduan mengenai sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta
mengenai berbagai keadaan dimana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa
profesional dapat atau perlu diungkapkan.
Prinsip
ketujuh-perilaku profesional
Setiap anggota harus
berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan memenuhi
tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
1.
Kewajiban untuk memenuhi tingkah laku
yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai
perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang
lain, staf, pemberi kerja, dan masyarakat umum.
Prinsip
kedelapan – standar teknis
Setiap anggota harus
melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar
profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan teknis berhati-hati,
anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa
selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas.
Sumber :
Ardiansyah, Panji. 2017. ETIKA BISNIS
Bagaimana Membangun Bisnis yang Beretika. Yogyakarta : Quadrant
Fahmi, Irham. 2013. ETIKA BISNIS Teori, Kasus, dan Solusi. Cetakan
Kedua. ALFABETA, cv
Sigit P, Tri Hendro.
2012. Etika Bisnis Modern. Edisi
Pertama. Cetakan Pertama.
No comments:
Post a Comment